Sunday, November 27, 2016

Tak Kenal (Buku), Maka Tak Sayang (Buku)

Oleh: Arum Putri Budiani

Adik sudah bisa baca, belum?”
Pertanyaan ini seringkali menjadi andalan untuk beramah-tamah dengan anak kecil yang baru saja ditemui maupun menjadi bahan obrolan hangat di kalangan ibu-ibu. Ya, membaca sepertinya menjadi sebuah parenting goal yang mahapenting, saking pentingnya hingga terkadang menjadi momok bagi orang tua maupun anaknya. Momok yang dengan mudah menghalangi esensi dari kegiatan membaca itu sendiri, yakni kecintaan akan buku dan jendela dunia yang ditawarkannya.

Ketakutan akan anak yang tidak mampu membaca pada usia dini justru mendorong adanya pendekatan yang keliru terhadap kegiatan membaca. Huruf-huruf diperkenalkan, ejaan diajarkan, dan suku kata dilafalkan hanya dengan tujuan untuk bisa membaca kata demi kata... bukan dengan tujuan agar anak suka membaca. Padahal menurut saya, proses belajar membaca itu sendiri diawali dengan membina sebuah hubungan positif dengan buku, bukan dengan huruf maupun suku kata seperti “b-a-ba”! 

“Children are made readers on the laps of their parents.”― Emilie Buchwald

Ya, budaya membaca dimulai sejak anak masih bayi, di dalam pangkuan orang-orang terdekatnya. Bahkan, sejak dalam kandungan juga bisa! Mereka dan si bayi mulai menikmati buku bersama. Mengapa “menikmati” dan bukan “membaca” buku? Karena buku tidak hanya untuk dibaca kata-katanya saja, akan tetapi bisa dimulai dengan melihat gambar atau warna-warni yang disajikan dalam sebuah buku anak-anak. Bayi dan balita akan “membaca buku” dengan cara yang berbeda-beda: diemut, digigit, diraba, dipeluk, dilempar, dibawa-bawa--- yang penting adalah interaksi anak dengan buku dan bukan kegiatan membaca yang menurut kita umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Interaksi tersebut yang menjadi dasar untuk pemupukan kecintaan terhadap buku dan kegemaran membaca.  Dan kelak ketika sudah besar, anak-anak bisa diperlihatkan “barang bukti” bahwa mereka sejak bayi lho sudah suka dengan buku, hehehe! Itu yang terjadi saat saya kemarin mengatur ulang perpustakaan keluarga kami sehingga nanti insyaaAllah siap dinikmati oleh Baby Squirrel :) 
Our beloved baby books, terlihat bekas pemakaiannya hehehe...

Orang tua dan keluarga juga hendaknya mencotohkan kecintaan terhadap buku serta kegemaran membaca di depan anak, karena anak akan meniru apa yang dia lihat. Bagaimana mau menanamkan budaya membaca kalau orang tuanya tidak pernah menikmati dan membaca buku di depan atau bersama dengan anak-anaknya? Menurut saya, ujian terbesar adalah ketika malam-malam mata sudah 5watt dan anak-anak masih 100watt lalu ingin dibacakan (setumpuk) buku cerita sebelum tidur… nahhh itu dia! Jadi saya berbagi tugas dengan Si Hubs, kalau saya seringnya baca buku dengan anak-anak di pagi/siang hari, kalau malam biar jadi special time dengan ayahnya (emak setengah maksa sih, hahaha). Cara lain yang kami lakukan adalah dengan mengajak ke toko buku sebagai special treat supaya buku menjadi reward yang istimewa.. selain toko buku, bisa juga beli via online shop ataupun ke perpustakaan. Intinya, buku itu istimewa!
Buku paling istimewa dalam hidup: The Holy Qur'an! Ini punya masing-masing anak, kado dari Eyang di tahun pertama kelahiran mereka 


Selain itu, hal yang menurut saya perlu diperhatikan adalah untuk tidak terlalu berlebihan ketika menikmati sebuah buku. Cukup fokus pada kegiatan menikmati cerita buku tersebut tanpa harus menyiapkan 1001 aktivitas pelengkap dan pendukung buku tersebut, apalagi meng-kuis anak tentang aneka hal dari buku tersebut! Anak-anak bisa jadi merasa sungkan atau tertekan ketika membaca buku apabila setelahnya dibombardir dengan sederetan pertanyaan ala kuis ataupun berbagai kegiatan yang mungkin tidak diminatinya. Mungkin 1 atau 2 pilihan kegiatan bisa disiapkan jika anaknya berminat. Penekanannya bukan pada jumlah buku atau ada/tidaknya aneka aktivitas pendukung yang disiapkan, melainkan pada kedekatan dengan anak-anak dan perasaan senang setelah membaca sebuah cerita bersama-sama. Yang diperlukan hanya buku, orang tua, dan anak—sisanya opsional!

Anak-anak yang menyukai buku, secara alami akan memiliki rasa ingin tahu terhadap isi buku, apapun jenis bukunya. Mereka akan melihat bahwa di setiap halaman, terdapat rangkaian huruf-huruf yang menyusun kata… kata memiliki sebuah makna… dan rangkaian makna dari kata-kata tersebut menjadi sebuah cerita… dan semuanya berawal dari ketertarikan terhadap buku dan isinya! Jika anak-anak menyadari bahwa buku-buku itu menyenangkan untuk dinikmati, akan sulit sekali menghentikan mereka untuk membaca apapun, bahkan sejak mereka belum bisa benar-benar membaca 1 kata sekalipun! Terbukti melihat Big Bug dan Little Bird, meskipun berbeda pendekatannya terhadap proses belajar membaca kata (sesuai sifat tiap anak), akan tetapi sejak dini mereka berdua sama-sama sudah suka memegang buku dan menikmati buku sesuai dengan tingkat kemampuan mereka saat itu.
Big Bug membacakan buku kesukaannya kepada Baby Squirrel, meski belum memgerti tapi bisa menikmati bersama-sama


Jadi, di saat kita bertemu dengan anak kecil di kesempatan berikutnya, mari kita tanyakan “buku (tentang) apa yang adik suka?” –bukan “apa adik sudah bisa baca atau belum?”. Karena sesungguhnya, budaya membaca pada anak bermula dari kecintaan mereka terhadap buku, bukan kemampuan mereka untuk  membaca kata per kata. Tak kenal (buku), maka tak sayang (buku)... Cintai buku sebelum membacanya, sehingga rasa cinta tersebut akan menghasilkan seseorang yang gemar membaca, atau dengan kata lain, pembelajar seumur hidup!


Sunday, November 20, 2016

Tell me about your drawing...

A picture is worth a thousand words, so the famous quote says. But when concerning little kids' drawings, a picture can either be worth a lot more than 1000 words or a lot less, depending on how you respond to it when they show you what they just "drew".

Ketika anak menunjukkan gambarnya, baiknya kita menanggapi dengan "wah, ceritain dong tentang gambarnya!" --- bukan langsung nebak itu gambar apa. Dari kemungkinan 1000 kata bisa jadi cuma 1 kata tuh klo langsung ditebak.. atau kalau lagi usia toddler, bisa jadi langsung diambekin kalau2 kita salah tebak, hehe 😅

Mungkin saja ceritanya nggak masuk akal, loncat2 jalan berpikirnya,  n bahkan nggak mirip sama sekali dengan yg diceritakan. Diikuti aja yaa.. supaya dia merasa idenya dihargai, imajinasi dan kemampuan berceritanya pun akan semakin berkembang. Tanpa batasan penilaian berlabel baik/buruk ~~bagus/jelek, anak2 akan lebih berani untuk terus berkarya tanpa takut salah/jelek. Pun awalnya begitu, kita bisa terus menyemangati mereka untuk terus berkarya dengan fokus pada proses gambarnya, kegigihan mereka dalam upaya menggambar sesuatu, dan betapa kreatifnya mereka dalam berkarya.

Lil Bird loves to draw and has finished 1 whole sketch book (2 sides on each page) even though she only started in late Sept 😊 It's amazing what kids can put on to a blank piece of paper if you just free them to scribble/doodle/draw anything... 🎨🖼

There is no right or wrong in art, but there will always be a story behind it 😉

Tuesday, November 01, 2016

Our Family Command Center

Anak-anak yang semakin besar (dan lebih dari 1) plus kegiatan Si Hubs yg semakin sibuk kesana kemari pada akhirnya membuat saya mengaktifkan kembali Our Family Command Center. Intinya sih supaya semuanya (terutama si emak) tahu kegiatan seluruh anggora keluarga dan nggak ada kegiatan/janji yg terlupakan. Coz you know, the agendas of families these days can be cray-cray-zeeee... hehehe 😅

Nggak muluk-muluk, saya memanfaatkan ruang dinding tepat di belakang pintu masuk. Modalnya hanya sebuah kalender whiteboard dari jaman kuliah dulu dan ditambahkan DIY kotak surat dari clear holder, masing2 anggota keluarga dapat 1 kotak surat (kecuali si Baby Squirrel, yg saat ini masih baby banget). Ceritanya anak2 bisa menulis surat/pesan ke siapa aja dan dengan alasan apapun, dari ekspresi rasa kangen, sebal, sampai menggambar cerita. Mereka saking sukanya menulis "surat" , sampai2 kalau ada gambar yang mau dipajang, mereka nolak karena "ini surat, bukan buat dipajang" lalu dilipat2 (dan emaknya ngelus dada) 😂😅😘

Di sebelahnya calender ada "family rules" yang ala2 Etsy/Pinterest gituu tapi ini modal buat sendiri lalu diprint biasa aja hehehe *emak males ngebor dinding buat pigura*

As you can see, baru tgl 1 November aja udah mayan penuh tuh kalendernya 😂😂😂 Yang paling penting, kita semua bisa saling support dan komunikasi tetap lancar jayaaaa... semangat!!!

Saturday, October 29, 2016

Screen Sticks

By Arum Putri Budiani

Screen-time is probably one of the pandora-box issues that we parents have to deal with. Having digital-native kids who, literally, have the internet at the tip of their fingers, it's hard to put the limits on how much screen time that we feel not guilty of giving them. After all, screens can be useful as well as damaging.. so how do you balance their use as well as keep yourself from being a hypocrite about it? 


For our family, we've decided to reactivate our "screen sticks". Yup, 1 stick = 30 menit. Tiap anak dapat stick sejumlah umurnya dan bebas mereka gunakan antara Senin-Jum'at pada free choice activity time dan asalkan sudah sholat pada waktu yg terkait, misal kalau jam 1 siang mau menggunakan maka syaratnya sudah sholat dzuhur. Anak2 mendapat jatah stick sejumlah umurnya dan berlaku Senin-Jumat tanpa akumulasi. Mereka bebas mengatur penggunaan, toh kalau mau dipakai semua di awal minggu, tetap dalam batas yg buat saya (sbg ortu) nyaman dan mereka tidak akan mendapatkan jatah kembali sampai hari Senin berikutnya. Oh ya, 1 lagi syaratnya... tidak boleh dipakai ketika ada tamu di rumah, meski waktu tsb adl waktu free choice activity mereka. Manners first, right? 😉


Stick ini dipakai untuk bermain games di PC/tab atau menonton video2 tertentu di youtube. Stick tidak diperlukan kalau malam2 kami sekeluarga nonton TV bersama, karena ya isinya nggak jauh2 dari science, animals, or human interest hehehe 😄 Stick juga nggak perlu dipakai kalau mereka butuh mencari bahan di internet ketika kami sedang membahas topik tertentu. 


So far, it has worked tanpa ada drama or negotiations of any sort. Mereka bisa having fun dan belajar mengatur waktu, saya juga tetap nyaman dengan batasan waktunya. Win-win solution kan? Silakan dicoba, semoga bermanfaat yaa idenya 😊


Thursday, October 20, 2016

Bilingual Reader 2.0

Little Bug dan adik2nya adalah anak2 yg terlahir dengan internet (literally) di tangan mereka 😅 Meskipun demikian, saya yg old-school ini tetap mengajarkan mereka cara mencari informasi dengan menggunakan aneka macam buku referensi, dari almanak, ensiklopedia, bahkan kamus. Saya tahu, jauh lebih praktis untuk mencari informasi via internet... but just in case, hendaknya mereka dapat 'basic'-nya dulu sebelum ujung2nya kembali ke si mbah gugel hehehe 😂

Anyways, sejak awal kelas 2 SD ini, Little Bug mulai membaca chapter books untuk anak2. Berdasarkan sebuah artikel (link menyusul), saya mendapat informasi kalau setelah anak2 lancar membaca kalimat2 dan cerita sederhana, sebaiknya mereka lalu diajak membaca buku yang levelnya lebih sulit. Tujuannya agar mereka memperoleh kosa kata yang lebih sulit dan jarang digunakan dalam bahasa lisan. Selain itu, membaca cerita dengan plot lebih dalam akan memberikan kesempatan untuk belajar berempati dengan kehidupan/permasalahan si tokoh. Yup, lagi2 kembali ke keterampilan berempati, yang bisa dilatih salah satunya dengan membaca aneka cerita.

Kami mulai dengan pilihan antara 3 buku karangan EB White, yang mana Little Bug memilih yg berjudul The Trumpet Of The Swan. Setiap 2 hari sekali (2-3x seminggu) kami membaca bersama 1 bab--- terkadang bergantian tetapi seringnya dia membaca dengan keras dan saya duduk di sampingnya sambil mengawasi bacaannya. Ketika ada kosa kata yang tidak dimengerti, Little Bug menggunakan Google Translate dan mengetik sendiri kata yg ingin diterjemahkannya. Kami lalu melihat aneka definisi sekaligus belajar berbagai komponen (kata benda, kata kerja, dkk) dan aneka kosa kata dalam Bhs. Indonesia. Selain itu, dia sekalian berlatih spelling dengan sendirinya (karena kalau salah ketik, maka terjemahannya pun akan salah, kan?). Sekali mendayung, 1-2 pelajaran terlampaui hihihi 😉 Terakhir, di setiap akhir bab, kami berdiskusi mengenai isi bab tersebut. Selain melatih secara riil keterampilan menceritakan kembali isi sebuah tulisan, saya juga mengajaknya untuk berempati terhadap tokoh2 di dalam cerita tsb serta mengecek pemahamannya terhadap isi bab tadi. Awal2nya agak sulit, namun lama2 semakin terbiasa dan jadinya dia semakin berpikir ketika membaca, nggak hanya membaca kata2 tanpa berusaha memahami isi tulisan tsb. Paling sebel kan kalau anak2 habis membaca suatu buku lalu ketika ditanyakan apa isi bacaan tsb, mereka menjawab "nggak tahu" ... grrr... itu sih saya yah hahaha 😁

Anyways, ini adalah salah satu kegiatan kami bersama.. anak2 belajar, mamanya juga ikut belajar kosa kata... contoh nyata bahwa mama nggak perlu tahu semuanya, karena bisa dicari tahu bersama-sama. We are life-long learners, right? 😊

Wednesday, October 19, 2016

Having fun with process art

By Arum Budiani
Oct. 19, 2016

Weekend kemarin, anak-anak melakukan process art berupa storytelling painting. Process art, sesuai namanya, adalah kegiatan seni yang lebih terfokus pada proses pembuatannya--bukan hasil akhirnya. Jadi, tidak ada tujuan produk jadi tertentu seperti halnya karya seni biasa. Anak-anak bisa membuat karya seni dengan santai dan sesuka hati mereka dan pengalaman ketika berkreasi itulah yang menjadi esensi kegiatan ini.

Storytelling painting kali ini menggunakan aneka karakter mainan yang memiliki "jejak".. jadi anak-anak bebas menggunakan cat tempera untuk membuat jejak kaki/roda di atas kertas yang besaaar! Yup, saya sengaja mengeluarkan kertas ekstra besar untuk kegiatan ini... karena permukaan yg lebih luas juga memberikan kesan bahwa mereka punya kebebasan lebih untuk berkreasi sesuka hati, hehehe! Cat temperanya juga yang 100% washable plus dialas taplak plastik yang besar pula, jadi easy cleanup afterwards. Segitu, Si Hubs masih kaget melihat "berantakannya" hahaha... maklum, biasanya kami melakukan process art di kala weekdays.. jadi dia kan di kantor, sampai rumah dah terima produk akhirnya hahaha!

Diawali dari jejak harimau.. lalu ada penjelajah yang mengikutinya.. ditambah dinosaurus, pinguin,  mobil-mobil, bahkan sebuah bola bekel juga ikut meninggalkan jejaknya! There's no limit on their imagination, just make sure you have enough paper and paints, hehehe!

Sunday, September 11, 2016

Raising Humans


Sept.11, 2016

I’ve been meaning to write a lot ever since the newest baby was born--- I know, you get the urge to write at the weirdest, busiest, and most impossible times to write haha! Dengan diingatkan kembali niat buat sedekah setiap hari, seenggaknya berusaha sedekah ilmu aja kali ya... bahkan mungkin bukan ilmu, sekedar sharing paradigma aja. Karena kita melihat hidup kita melalui kacamata masing-masing, siapa tau kacamata kita butuh dipoles dikit lensanya biar semakin jernih :) 

Alhamdulillah, sejak lahiran, beberapa hari terakhir ini kepala si emak HS ini sudah mulai bisa memikirkan hal lain selain ngejar jadwal ASI dan ngejar jam tidur. Well, life doesn’t stop just because you gave birth to a baby, right? Si Hubs dah selesai cuti dari minggu lalu, anak-anak juga udah selesai “libur”nya, the daily grind must go on. You would think that, being the 3rd time around, parenting would go easier. In reality? I think it’s all about prespective. About how you look at what parenting really is, what having kids really means to you.

No offense, but one of my major ick-factor is when someone says to me, “Udah, langsung aja nambah anak, biar sekalian capeknya...”. And I’m like, WHAT?!? 1. Elo kata, gue kayak kucing, punya anak tiap musim kawin, sekali beranak banyak? 2. Emangnya membesarkan anak-anak itu seperti nyuci piring atau nyuci baju atau kerjaan rumah tangga lainnya--- sekalian dikerjakan supaya cepat selesai lalu berleha-leha kemudian? Tentunya kedua jawaban ini nggak saya katakan ya, jawaban andalan saya hanya senyum dan ketawa diplomatis sambil melipir ke tempat lain atau ganti topik pembicaraan.

Buat saya, punya anak itu artinya dapat kesempatan istimewa untuk membesarkan manusia. Yes, raising humans, not kittens. Kalau hewan piaraan cukup dikasih makan/minum, dijaga kebersihannya, dan diberikan kasih sayang... kalau manusia, it is way more than that. Raising humans, not racing to get them all grown up and out of the house.  I know, it sounds ironic. Tapi setiap kali dengar ada orang tua yang bilang “Iya nih, masih ngasuh bocah-bocah di mall” atau “asyik, giliran papanya ngasuh anak-anak”... it seems like spending time with your children make you as excited as.... washing dishes. (hahaha, yes, it’s obvious, I hate washing dishes). Sesuatu yang pingin cepat-cepat diselesaikan. Kewajiban yang melelahkan.

Yes, I know parenting IS exhausting and it NEVER ENDS. Nggak terbatas pada ayah ibu yang berada di rumah, bahkan ayah ibu bekerja pasti tetap memikirkan anak-anak mereka sepanjang hari. Status orang tua itu sudah melekat dan nggak bisa dilepaskan... jadi, kenapa kita nggak menikmatinya sekalian???

We have been given the special priveledge of being someone’s mom or dad. Anak-anak kita nggak milih kita... we were chosen for them.. and they are programmed to love us unconditionally no matter what we do. So why take this priveledge for granted? Kita nggak tahu sampai kapan dapat kesempatan buat menikmati mereka tumbuh. And don’t let tragedy be your wake-up call, naudzubillahminzalik. You can wake up thankful everyday, but you sometimes forget just how much a priveledge it is to be a parent somewhere along the long journey. Fyi, for me, the most recent reminder untuk bersyukur adalah ketika tanda tangan berlembar-lembar Informed Consent pra-operasi SC-- itu cukup sebagai wake-up call, if anything else.  With every signature, I prayed that I would be given many more chances to become a better parent. Yeah, going to an operating table can do wonders for you to think about your life.

So dear parents, let’s enjoy our moments with our kids. Jangan anggap mereka sebagai bagian sebuah “to-do list” yang perlu dikerjakan supaya cepat selesai. Nikmati waktu bersama mereka sebelum mereka tahu-tahu udah mau terbang dari sarang. Be happy with them. Let them know you are thankful to be their parents. Yakinkan anak-anak kalau “mengasuh” mereka bukan sesuatu yang “melelahkan” atau “terpaksa dilakukan”... tapi kesempatan istimewa, karena mereka istimewa!  

Thursday, March 10, 2016

Life Happens


When you homeschool, everything that happens to you as a family impacts the WHOLE family. You can plan out schedules up until the whole year, but when life happens, you just gotta adjust the best you can and go with the flow. Beberapa bulan kemarin, jadwal homeschooling kami secara mendadak harus mengalami “penyesuaian”. Ya, selain karena alasan yang umum, misalnya Little Bug, si Hubs, Baby Bird, dan saya juga akhirnya sakit berturut-turut (alhamdulillah nggak sampai rawat inap, hanya mulai dari demam tinggi, radang tenggorokan, dan paling parah Little Bug kena tyfus), yg mengharuskan kami banyak beristirahat, selain itu.... alhamdulillah, another little life insyaaAllah is happening inside me :) This little life unexpectedly made my days a bit stagnant for the past 3 months, karena harus menyesuaikan dengan mual, lemas, hilangnya nafsu makan, rasa ngantuk luar biasa, dan semi-bedrest yang menyebabkan saya harus libur nyetir dulu sampai dinyatakan aman. Praktis kegiatan saya dan anak-anak jadi lebih banyak di rumah dan saya di tempat tidur atau sofa, nggak bisa naik-turun ke ruangan yang biasa kami pakai buat bermain dan melakukan paperwork lainnya.

Panik? Ya, kalau nggak terbiasa melihat anak-anak main seharian sih iya, karena seolah-olah ada “warning” di belakang kepala saya yang berbunyi “Gimana dengan target schoolworknya Little Bug? Gimana dengan kegiatan-kegiatan Baby Bird? Akan terpenuhi kah? Akankah mereka “ketinggalan” dibandingkan anak-anak seusianya?” Yaa, kurang lebih seperti itulah. Banyak “liburnya” alias minimal schoolwork (buat Little Bug) dan sisanya main bebas di rumah. Hmm, gak jauh beda dengan sehari-hari sih.. hanya kerasa nggak maksimal aja dari bagian sayanya, padahal anak-anak mah seneng-seneng aja dan saya juga jadi diingatkan bahwa free play itu banyak sekali proses belajar yang terjadi, hanya kita nggak melihat saja :) Paling banter saya usahakan Little Bug menulis di journal hariannya, mengerjakan math worksheets buat latihan soal (karena kelas 1 SD menurut materi kurnas sedang pada bagian penjumlahan/pengurangan 2-digit, jadi mau nggak mau memang harus rajin latihan supaya lebih terbiasa dan teliti), dan sesekali mengerjakan latihan soal pelajaran lain (spt PPKN, Bhs.Indonesia, dsb) dari buku soal kelas 1 SD (cara curang saya, karena 1 buku isinya ringkasan pelajaran + latihan soal hehehe). Alhamdulillah juga target materi buat kelas 1 SD juga belum terlalu banyak, jadi bisa juga tercover sedikit banyak dari baca buku-buku cerita/ nonfiksi yang berhubungan dengan topik-topik tsb. Idealnya mah lebih banyak percobaan, arts & crafts, dkk... but hey, life happens and you just gotta do what you can til the situation is better (which at times  felt like for-e-ver, but turns out baru beberapa bulan aja kok!).

Berbeda dengan kalau mengirim anak-anak ke sekolah formal, kondisi ortu nggak akan banyak mempengaruhi.. kalau begini, saya terus terang di awal-awal sempat merasa down.. bisa nggak ya saya tetap HS anak-anak dengan kondisi seperti ini? Apakah anak-anak saya dirugikan? Dan gong-nya: Am I a bad mom for making this decision?

Lalu.. saya mencoba melihat sisi positifnya. After all, life is to be celebrated and Hubs & I are really thankful for all the little lives in our life (including the little-est that we are super-excited about)! Anak-anak sikapnya masyaaAllah, jadi jauh lebih pengertian selama beberapa bulan terakhir. Little Bug lebih banyak ngemong Baby Bird, mereka lebih akur dalam bermain (baca: porsi akur lebih banyak daripada porsi berargumen/bertengkar) dan juga lebih banyak membantu saya di rumah (walaupun ada ART yang pulang-pergi, tapi tetap mereka berusaha membantu yang kecil-kecil). Mereka maklum dengan menu makanan yang lebih sederhana dan sering beli, maklum juga kalau saya lebih sering tidur sebentar-sebentar karena mual, juga lebih sering menanyakan “Gimana keadaan Mama? Masih mual? Adik bayi baik-baik aja kan?”.

Ketika cek bulanan (bonus: cek bulanan ke dokter bisa dianggap sebagai field trip HS, hahaha), mereka kagum melihat layar USG (sekeluar dari ruang dokter, pasti ramai celotehan soal adik bayi yang ‘melambaikan tangan’ dan bergerak-gerak ‘saying hello’ ke kakak-kakaknya) dan Little Bug juga berusaha mencerna tahap-tahap perkembangan bayi dari poster-poster yang ada di luar kamar periksa. Baby Bird juga berusaha memahami apa yang terjadi dengan pengertian untuk seusianya, terutama mengapa saya harus banyak istirahat beberapa bulan kemarin (“Karena bayinya masih belum nempel ya di dalam perut Mama?”). Lalu dia juga sering tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan atau celotehan lucu, seperti, “Adik bayi mau ikut kita pergi juga ya?” (uhm, nggak bisa ditinggal juga di rumah kan hehehe) dan “Mama makan lele, berarti adik bayi nanti juga suka lele dong?” (well, I hope so! Scientists say that the eating appetite/tastes for the later born baby is affected by what the Mom eats during her pregnancy... so you can see why I was so frustrated when I lost my appetite in the 1st trimester of this pregnancy---food just didn’t look appetizing to me, even though I was hungry, hikz!).

Buat saya yang awalnya sempat down, googling berbagai blog tentang punya anak 3 dan sengaja cari yang lucu-lucu, because humor helps! Nemu website ini tentang keluarga yang punya anak 3, sounds real and it made me laugh and cry at the same time (blame the pregnancy hormones!). I like real blogs that combine humor with reality instead of preaching perfection, memudahkan untuk enjoy the ride :)
 Saya sangat bersyukur atas kehidupan ini, tapi namanya manusia biasa, pasti ada saat-saat saya merasa panik, khawatir, sedih, bersalah, gelisah, dkk... it’s only human to go through the WHOLE range of emotions (from super excited to sad) when you are expecting another little life, and if we can accept and embrace all of the feelings, insyaaAllah it will be easier to deal with the situation and be thankful for everything. In other words, you embrace the fact that life happens and you are more blessed than you will ever realize!

Every experience is humbling and teaches you something new each day. You can make plans but in the end, the important thing is that you are all happy and healthy together as a family... because every moment is special, no matter if it goes according to your original plans or not. You may not be achieving weekly/monthly targets, but other learning experiences are happening and reminds you that learning is not just textbooks and worksheets, even if you already know that it’s true but you are reminded in the realest (is that even a word?) way possible. You learn to trust your kids, trust their innate abilities, trust that they will develop accordingly under God’s care, and really trust your days in God’s plans. You learn to make the best out of everything, even if your days look like instant noodles, playdoh, and Disney Jr. Cartoons (and you definitely learn NOT to look at [read: compare yourself to] what other moms on pinterest/facebook/instagram/path/whatsapp groups/other social media are doing for their kids at this moment, haha!). You learn to see the smiles on your kids face, because they don’t expect anything but to spend time with you (even though you feel like a sloth and suddenly fall asleep during a story or a game of Candyland). You learn to enjoy each day. You learn to be as happy-go-lucky as your kids... because being happy and thankful and content is a choice, not an outcome of certain pre-meditated conditions and plans. You learn to embrace life and give yourself without losing sight of what’s important... and you learn to fight and struggle to make everything better, even though you don’t actually know what tomorrow will bring.. but you try and you pray and you trust God. That’s it.

So, that’s where we are in life right now, juggling homeschool and pregnancy and life as a whole. And I couldn’t be more thankful, alhamdulillah! :)


Saturday, January 16, 2016

The Day They Took Our Playground Away

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

Okay, this is my “mom-rant” alias keluhan khas emak-emak. Sebelum mulai, saya ingin membuat pernyataan disclaimer dulu: saya sangat mensyukuri kota tempat tinggal saya sekarang. Saya menghargai upaya pemerintah mempercantik lingkungan kota. Saya juga menyadari bahwa kami tinggal di area perkotaan, di mana lahan terbuka hijau memang terbatas. Jadi, saya pun bersyukur atas “apa yang ada” terlepas apakah hal tsb “ideal” ataupun tidak, karena ya… “yang penting ada”. Saya juga bersyukur masih mampu membiayai anak-anak saya untuk ke playground berbayar. There. Sudah ada disclaimer yaa… jadi mari mulai menyalurkan rasa kecewa dan kehawatiran saya sebagai seorang emak HS atas semakin terbatasnya fasilitas ruang bermain outdoor bagi anak-anak. 

Jadi begini ceritanya…. Di kota tempat kami tinggal, ada sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari rumah. Taman itu terbuka dan gratis dan menurut saya cukup luas. Ada tempat buat duduk-duduk, ada pohon-pohon yang rindang, ada area berumput yang cukup luas, dan ada 2 buah set ayunan untuk anak-anak (yang pada prakteknya dipakai oleh bayi hingga para ABG). Sederhana tapi terdengar ideal buat main anak-anak, bukan? Meskipun kami tidak ke sana setiap hari, namun setiap kali ke sana, anak-anak selalu senang bermain ayunan atau sekedar berlari-lari di area rumputnya. Kalau hari Minggu, taman itu ramai oleh keluarga dan ada penjual makanan di sekitarnya plus penjual aneka mainan anak yang bisa dimainkan di luar ruangan, seperti gelembung sabun, bola, dsb.

Nah, beberapa bulan yang lalu, taman tersebut tiba-tiba direnovasi supaya menjadi lebih cantik. Hasilnya, memang lebih cantik. Tapi saya dan anak-anak sedih karena ayunan kami hilang, digantikan oleh trotoar/walkway cantik yang melintasi taman tersebut. Area rumput yang tadinya cukup luas terbagi menjadi petak-petak yang ditumbuhi aneka tanaman/bunga yang cantik. Area yang agak lebar pun adalah area yang dilandasi oleh semen, cocok untuk duduk-duduk atau bersepeda (asalkan tidak ada yang sedang duduk-duduk di sana). Juga ditambahkan neon box berupa huruf-huruf yang menghiasi taman tersebut dengan namanya, dilengkapi dengan areal yang cukup memadai buat ber-selfie ria.

Taman itu memang cocok buat jalan-jalan santai melintasi taman atau misalnya naik otopet/sepeda. Atau sekedar duduk-duduk di bangku yang disediakan. Cantik, memang. Tapi, kenapa ayunan kami diambil? Kenapa areal rumput luas sekarang terpotong oleh walkway yang membaginya menjadi petak-petak yang ditumbuhi tanaman yang cantik, yang “tidak boleh diinjak”? Anak-anak kalau mau main lempar-lempar bola harus lebih berhati-hati karena arealnya menjadi jauh lebih sempit. Mau lari-lari, ya masih bisa sih, asal nggak kesandung batasan2 walkway atau nabrak orang yang lagi berjalan kaki santai melintasi walkway taman. Paling sedih, kenapa areal buat nama taman lebih luas daripada areal rumputnya? Kenapa buat selfie difasilitasi, sedangkan alat bermainnya dihilangkan? I bet those neonbox letters cost more than 1 simple set of playground equipment.

Seperti yang sudah saya bilang di disclaimer, saya masih bersyukur taman tersebut ada dan tidak dijadikan menjadi tempat parkir atau apa. Saya juga mengakui, taman tersebut lebih cantik dan rapi. Tapi anak-anak kecil yang menjadi generasi penerus kota ini nggak butuh cantik dan rapi ataupun tempat selfie—mereka lebih membutuhkan ruangan terbuka lebar yang hijau sebagai tempat bermain.
Pernahkah kita menghitung berapa banyak areal playground terbuka yang gratis, yang tersedia untuk anak-anak? Kota saya, yang ironisnya memiliki banyak taman dan kebun yang cantik, kehilangan salah satu taman bermain anak-anaknya. Kalau anak-anak saya mau berlari-larian dengan bebas, pilihan terakhir saya hanyalah lapangan luas di pusat kota, yang itupun harus berbagi dengan masyarakat yang juga menggunakannya untuk bermain bola. Atau ya saya harus mengajaknya ke playground berbayar di berbagai pusat perbelanjaan. Ya, kami harus membayar per jam untuk suatu hal yang harusnya menjadi hak mereka sebagai anak-anak. Alhamdulillah kami bisa menyisihkan dana, nah buat anak-anak yang orang tuanya bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan dasar, bagaimana caranya??

Di sini, saya merasakan playground sebagai barang mewah. Hanya anak-anak yang menjadi siswa sekolah tertentu bisa menikmatinya, atau harus ke mall dulu dan bayar untuk bisa menikmatinya dengan sesekali, sesuai kemampuan orang tua. Mungkin mereka berpikir, buat apa menyediakan alat bermain gratis kalau nantinya akan dirusak? Tapi bagaimana anak-anak akan belajar merawat kalau tidak diberikan sama sekali? Apa susahnya mempekerjakan beberapa orang satpam untuk menjaga keamanan playground publik?

Mungkin mereka berpikir, anak-anak sudah bisa bermain di sekolahan. Tapi, apa kabar dengan sekolah yang tidak memiliki alat bermain yang memadai? Belum lagi jam istirahat/bermain yang terbatas.  Di sisi lain, orang tua yang libur pada akhir pekan terpaksa membawa anak-anaknya lagi-lagi ke mall, karena hanya di situlah tempat bermain anak-anak berada, baik yang gratis maupun berbayar. 

Ah, anak-anak tidak membutuhkan alat-alat playground pun sudah bisa bermain kok! Iya, memang… tapi adanya beberapa alat bermain seperti ayunan,, perosotan, panjat-panjatan, dsb bisa membuka beragam kesempatan bermain dan belajar keterampilan baru… tidak berhakkah anak-anak diberikan alat bantu untuk menambah keasyikan bermain? Sebegitu rugikah mengeluarkan uang untuk generasi cilik kita? Selama ini, ada taman untuk berlatih skateboard… ada lapangan bola umum… ada lapangan bulu tangkis… bahkan ada taman buat corat-coret graffiti—semuanya rata-rata untuk remaja ke atas. Kapankan anak-anak kecil kita akan memiliki taman bermain yang layak dan khusus untuk mereka? Haruskah mereka menjadi warga yang besar dulu untuk bisa menikmati fasilitas ruang terbuka publik? 

Anak-anak berlari bebas di sebuah taman kota yang letaknya sekitar 2 jam dari kota tempat tinggal kami

Anak-anak kecil lah yang paling membutuhkan ruang terbuka lebar untuk berlari, lompat, eksplorasi, dan bergerak tanpa larangan “awas, nabrak! Awas, nggak boleh menginjak rumput!” dan berbagai macam peringatan lainnya. Tapi sayangnya, semakin lama, ruangan terbuka untuk mereka semakin berkurang. Padahal, kurangnya waktu dan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak dan bermain bebas di tempat terbuka bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar, mempengaruhi rentang perhatian mereka, koordinasi motorik mereka, dst. Intinya, anak-anak butuh ruang untuk bergerak pada usia mereka yang masih kecil, bukannya menunggu mereka besar dulu!

Saya tidak mau membandingkan kondisi kota tempat tinggal saya dengan kota maupun negara lainnya, karena setiap tempat berbeda-beda kondisi lingkungannya. Namun, saya hanya merindukan sesuatu yang sederhana yang pernah saya alami sebelumnya (di 2 negara yang berbeda plus di kota tempat tinggal kami saat ini) dan kini semakin lama semakin susah dijangkau, baik secara lokasi maupun secara finansial.  


Semoga tulisan saya ini bisa menggerakkan hati kita semua untuk memikirkan nasib bermain anak-anak kita. Where there is a will, there is a way... we just have to remember that kids are our next generation, so they deserve to be thought of in the way that we think about facilitating the development of our teens and adults as part of our society.