Monday, December 22, 2014

Hopsctoch Learning

In homeschooling, you can find ways to combine various learning elements, like what we did with hopscotch and early math skills. Semuanya berawal dari permainan hopscotch atau engklek yg klasik itu. Terakhir kali saya main engklek adalah waktu kelas 6 SD kayaknya, sebelum bel masuk kelas hehehe... waktu itu raasanya seruuu, walaupun pas main dengan anak-anak terus terang saya agak lupa aturan mainnya. Jadi, bikin sendiri deh aturannya, hehehe!

Ide awal adalah bahwa main engklek itu sebenarnya merupakan olah motorik kasar yang seru. Although my kids are oftenly jumping, hopping, and running all over the house, hopsctoch provides an added goal for them: they have to learn to coordinate their hops and feet in order to land where they should land. Strategi, koordinasi kaki mana yg loncat dan mana yang dipakai buat mendarat, plus menyebutkan angka-angka yang tertera di kotak yang diloncati (sembari loncat)--- voila! Alhamdulillah dapat deh ide untuk mengubah isi dari kotak-kotak engklek itu, jadi belajar secara kinestetik.




Awalnya saya pakai angka 1-10, lalu saya modifikasi lagi bentuk dan jumlah kotak-kotaknya jadi 1-12. Lalu pada lain kesempatan saya campur angka dengan bentuk matematika dasar (segitiga, kotak, dkk), terus iseng sayang mulai kasih angka dengan pola penambahan jumlah tertentu (skip counting). Little Bug awalnya nggak ngeh, kenapa saya nulisnya 2,4,6,.. lalu saya ajak berpikir, kira-kira angka-angka tsb selisihnya berapa satu dgn yg lain sebelum/setelahnya (dia memang sudah bisa konsep berhitung tambah/kurang sederhana dari kegiatan bermain lainnya). Setelah dia ngeh kalau masing-masing angka berselisih 2, saya ajak bersama-sama hitung berapa angka yg harus saya tulis di kotak selanjutnya dan juga kasih dia kesempatan buat nulis sendiri di kotaknya. Baru deh dia menguatkan pemahamannya saat loncat-loncat sambil nyebut angka-angkanya (lama-lama makin hafal deh!)



 Permainan ini bisa disesuaikan dengan konsep yang sedang dipelajari atau yg ingin dikuatkan: angka, huruf, bentuk, vocab, dsb. Seru karena anak belajar sembari bergerak dan bermain, plus semakin seru lagi kalau kita juga ikutan (seperti iklan susu berkalsium tinggi itu tuh, supaya tetep awet muda dan bebas encok hahaha)! The only limit to your hopscotch game is how much chalk you have and the area of your driveway/road you are using :D Happy playing!

Friday, December 19, 2014

Gender-free Play

Okay, this is probably a sensitive issue. Di masyarakat kita, stereotipe tentang apa yang pantas dan tidak pantas dimainkan oleh anak-anak kecil berdasarkan jenis kelamin mereka, saya rasa masih lumayan kuat. But we try to make a safe, gender-free play area at our house. Semenjak Baby Bird belum lahir, Little Bug sudah punya 1 set permainan masak-masakan plus celemek. Aneka stuffed-toys atau boneka juga ada, meskipun waktu itu belum ada boneka berbentuk bayi yah, belum nemu yang gender-neutral. Waktu awal-awal beli mainan masak-masakan, si Hubs bereaksi seperti para ayah pemula pada umumnya: “kok anak cowok main masak-masakan??” Dan begitu pula ketika Baby Bird sudah cukup besar untuk memilih mainannya sendiri di ruang main, “nggak apa-apa tuh Baby Bird main mobil-mobilan?” Dan jawaban saya dari dulu sampai sekarang tetap sama: insyaaAllah nggak apa-apa.


 

Insight dari buku “It’s OK not to share” dari Heather Shumaker, “play that crosses gender roles is creative and harmless. It won’t change who they are.” Jadi kacamata kita sebagai orang tua hendaknya melihat aktivitas bermain tersebut sebagai suatu proses anak yang sedang bermain dan mengeksplorasi berbagai macam peran dan kegiatan. Jangan disangkut-pautkan dengan jenis kelamin atau identitas diri sebagai laki-laki/perempuan—that is a whole different issue! Well, anak-anak memang belajar dari bermain kan? Anak tertarik pada masak-masakan, karena dia melihat kegiatan masak di rumah, suka diajak makan ke restoran untuk nyobain beragam jenis masakan baru, ataupun karena dia ingin mencoba untuk melakukannya sendiri (dengan cara yang aman untuk usianya). Main boneka? Anak-anak kita suatu saat nanti insyaaAllah akan menjadi orang tua juga kan? Bermain peran yang berbeda-beda juga membantu tumbuhnya empati pada anak. Yes, being able to imagine yourself in someone else’s shoes..  bagiamana perasaan mereka, kegiatan mereka, dan apa saja tantangan yang mungkin mereka akan hadapi.. it all starts from empathy. Dan buat yang punya anak kecil, udah pasti tau kalau mengajarkan empati ini butuh waktu dan proses yang lamaaaaa dan susah-susah gampang. *that’s why I don’t fuss over calistung at this early age, because soft skills like empathy dkk nggak mungkin dipelajari secara singkat*

 Ketika bermain bebas, anak harus merasa aman untuk mencoba hal-hal baru. Ya, mungkin saja termasuk bermain yang “tidak sesuai” dengan gender-role secara umum di masyarakat. Tapi, bukan lantas kita bisa langsung men-cap kalau anak perempuan yang main dengan perkakas rumah tangga akan menjadi tukang bangunan ataupun anak cowok yang mencoba sepatu hak tinggi mamanya akan menjadi cross-dresser saat dewasa nanti! Coba untuk melihat dari sudut pandang anak-anak: mereka berhak untuk mencoba hal-hal yang baru ataupun menarik buat mereka. Si anak cowok bisa kita ajak untuk diskusi tentang capeknya berjalan dalam high heels, mengajak dia berempati kenapa mama meminta dia untuk jalan sendiri instead of  digendong saat mama pakai high heels ke acara kondangan. Atau dia bisa merasa lebih tinggi (badannya) untuk sesaat dan diajak diskusi tentang makanan bergizi supaya tumbuh besar, sehat, dan juga lebih tinggi, hehehe :) Si anak cewek suatu saat akan hidup mandiri dan bisa mendandani rumahnya secara mandiri, ataupun ketika manggil tukang bangunan akan bisa jadi mandor yang cermat... dan siapa tau akan jadi arsitek yang berbakat!

Shumaker juga menohok saya pribadi dengan quote: A child’s play is not the problem. It’s our reaction to it. Kalau kita bereaksi terlalu ekstrim terhadap ide bermain anak-anak (selama tidak menyalahi norma moral dan sosial ya), takutnya mereka akan berpikir bahwa kegiatan tersebut buruk:
  • “Eeeh, masa’ anak cowok masak-masakan?” --> nanti gimana mau masak untuk diri sendiri kalau sudah tidak tinggal di rumah? Atau bantu di saat ada anggota keluarga yang sakit dan butuh makanan saat itu juga? 
  • “Anak cewek masa’ main mobil-mobilan?” --> lha, kita suka ajak anak-anak naik mobil kan? Wajar kalau mereka mau bermain mobil-mobilan. Nanti anak cewek ini kalau sudah bisa nyetir sendiri juga harus bisa merawat keamanan mobilnya sendiri :)
  • “Anak cowok kok main boneka?” --> punya anak cowok yang bisa bantu ngemong adiknya itu suatu berkah banget lhooo... apalagi kalau nantinya jadi ayah yang involved dalam pengasuhan anaknya. Juga bisa jadi sarana anak-anak untuk memahami hadirnya adik baru dan perasaan-perasaan sulit (spt rasa iri, ketakutan nggak disayang lagi, dsb) yang menyertainya. 
  • "Anak cewek kok bawa pedang?” --> well, girls can be tough too! Mereka bisa belajar kapan untuk menjadi lemah lembut dan juga kapan harus tough ketika situasi tidak kondusif. Bisa juga jadi trigger diskusi bahwa membela kebenaran bisa dilakukan selain dengan cara perlawanan fisik. 
  • “Masa’ pilih warna itu? Kan itu warna cewek/cowok...” --> colors are for everyone.


Jadi intinya jaga reaksi kita terhadap kegiatan bermain anak-anak. Berikanlah komentar yang non-judgemental dan apa adanya, sesuai dengan apa yang kita lihat. Misalnya:
·         Oh, kakak lagi main dengan boneka hari ini.
·         Oh, mama bisa lihat kalau kamu lagi nyoba sepatu mama ya?
·         Ade lagi bantu memperbaiki pintu rumah.
·         Wah, lagi masak apa siang ini?
·         Ade kuat ya, bisa manjat pohon sampai tinggi!

Semakin kita berbaik sangka dengan kegiatan anak-anak, maka akan semakin memudahkan anak untuk terbuka dan merasa aman bin nyaman mengekspresikan perasaan kepada kita (which is, the foundation of open communication as our kids grow older). Jadikan kesempatan ini untuk menggali cerita atau alasan di balik pilihan bermain mereka. Don’t assume, just ask! Jalan berpikir anak-anak itu bisa lebih sederhana—sekaligus bisa jadi lebih imajinatif dari yang kita duga! Kalau ada komentar-komentar yang sepertinya menyakiti perasaan si anak, kita sebagai orang tua bisa bantu menjadi fasilitator mereka dalam mediasi konflik seperti halnya konflik lainnya. “Mama/papa takut kalau kata-kata orang itu bikin ade sedih. Apa iya?” Lalu bantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaan mereka. Melalui bermain ini kita sebagai orang tua dapat menjadi dekat dengan anak-anak, memahami cara mereka memanadang dunia, berempati dengan mereka, dan yang paling penting bisa menanamkan family values kepada mereka. Happy playing!

Wednesday, December 10, 2014

Child-Led & Meaningful Learning in Our Homeschool


Memasuki sekitar 1,5 tahun sejak kami memutuskan untuk ber-homeschool-ria, alhamdulillah sedikit demi sedikit ada hikmah untuk terus memperbaiki kegiatan keseharian kami. Salah satu yang utama adalah untuk benar-benar memaknai meaningful learning buat anak-anak. Pada awal-awal hs, saya masih public-school-minded dan punya bayangan kalau nanti di rumah kita akan bahas tema-tema tertentu setiap bulan, yang saya berusaha tentukan sebelumnya (dengan sebisa mungkin memikirkan apa yg akan dia sukai). Tapi pada prakteknya di lapangan, with our kids, it just doesn’t work that way dan terus terang, saya juga time-managementnya belum sehebat itu--- nyiapin tema-tema per bulan dengan segala tetek bengeknya. Yes, I don’t get all things done, segini masih dibantu part-time dengan ART. Who says homeschool moms have it all under control? Nope, not me (maybe someone else, but not me, hahaha). Hopefully one day, but now I’m just doing my best (and that’s what’s important).


Alhamdulillah, Little Bug punya rasa ingin tahu yang besar dan sering berganti-ganti. Walaupun dia anaknya termasuk nurut dan nggak masalah kalau diajak berkegiatan atau belajar tentang suatu tema tertentu, tapiiiii..... lama-lama terlihat bedanya kalau tema itu datangnya dari saya dengan kalau tema adalah permintaan dia sendiri. Keduanya sama-sama dilakukan, tapi semangat dan fokusnya lebih tahan lama yang kalau dia sendiri yang minta/menginisiasi kegiatan atau ide atau diskusi atau apalah itu—walaupun, ya masih sering berganti-ganti dan loncat dari satu ke yang lain dalam waktu yang singkat (seperti kutu loncat hehehe). Nevertheless, I think this is a process (emaknya belajar sabar dan asertif dan kreatif dan -tif- tif yg lainnya) ... lama-lama insyaaAllah akan bisa lebih lama dan mendalam fokusnya sesuai umur yang bertambah (according to theory).

You might think, well this is obvious, right? Child-led activities are more engaging? Probably, but definitely easier said than done, especially with the level of freedom and uncertainty of results in homeschool. The process of somewhat loosening your control over their learning process feels scary—at least, that’s how I feel. Padahal, I’m a believer of kids as natural learners.. and of Allah Yang Maha Luas Ilmu-Nya as the guardian of my kids’ learning. Tapiiii tetep aja rasanya hmm deg deg syur gitu.. (i’m sorry, i just don’t want to use the word “galau”). Mungkin aja, mungkin lho ya... karena kita semasa sekolah dulu terbiasa diatur belajarnya, teruuus sampai lulus SMA. Makanya saya nggak sabar lulus SMA karena ingin nentuin mau belajar apa setelah itu, something that I was really interested in and that control over my educational choice felt good (err, meskipun untuk diterima masuk di perguruan tinggi jurusan ttt juga ada test-nya, but the choosing itself was liberating).  I’m not saying that I didn’t like school or didn’t do well in school (alhamdulillah), but being a parent who chooses to homeschool (resulting in the freedom to manage your child’s education) and trying to make educating your kids actually work (without you losing your sanity and sending them to public school) is seriously easier thought than done.  Enter all the “what if....?” questions that arise from fears:
·         what if my child isn’t “learning” anything?  
·         What if my child falls behind from others his own age?
·         What if my child doesn’t know what he should know at his age?
·         What if i’m wasting my child’s time at home?
·         What if he’s better off at public school?
·         What if I made the wrong decision? --> sodara-sodara, ini “gong”-nya!

Yup, put it out there, all those fears and worries that a homeschool mom might have (at least, I do). Tapi buat saya, adalah tanggung jawab dan konsekuensi saya sepenuhnya ketika sudah membuat keputusan untuk homeschool ini: saya nggak boleh “galau”. Yes, I do have worries and fears, but I will choose to use them as a driving force to get me through this process dengan pemikiran yang positif dan terbuka untuk perbaikan, dengan sumber kekuatan utama dari: doa dan usaha. I don’t want my kids to see their mom confused and not rock-solid with this choice. I have fears/worries, but I want to teach them that those fears/worries can be used to drive you to do better and to evaluate and make changes as necessary, bukan jadi alasan buat mundur teratur. (See? This is me self-talking my way throughout my worries, hahaha)    

I’ve found out that this big homeschool thing is a learning process together with your kids... gimana bersama-sama bernegosiasi untuk merencanakan kegiatan dan menyeimbangkan antara batasan input dari orang tua dan input dari anak. Kata kuncinya adalah seimbang: child-led interests and parent-support. Kalau dengan Little Bug, saya idealnya punya target tujuan-tujuan tertentu tentang kemampuan yang saya ingin dia kuasai... materinya, sebisa mungkin berkaitan dengan hal yang sedang menjadi minat Little Bug. So, I work around his interests and try to get my goals done via activities that are related to his interests at that time.What good is a cool craft idea from Pinterest if your kids just aren’t interested? (Mungkin emaknya yg pingin hehehe ;p) Jadi bekerjanya lebih baik dari minat anak dulu baru nyari kegiatan yg bisa dilakukan bersama-sama. Supaya emak gak gigit jari dan ngelanjutin craft sendiri sampai selesai, hahaha :D

Untuk aktivitas yg berasal dari saya (I have goals too, biasanya berkaitan dgn public school standards that I want to achieve ataupun tujuan2 HS keluarga kami secara pribadi), the one question I ask is:
Will their learning be meaningful?

Which brings me to my second point, how I try to make learning meaningful for them. I try to let Little Bug know why he has to learn something—I give him the “big picture” to show him why. Untuk saat ini karena masih TK, jadi blm ada patokan mata pelajaran tertentu seperti nantinya di SD dst. Jadi saya kembalikan lagi ke perencanaan tujuan hs keluarga kami. Misalnya dalam hal belajar ngaji. Little Bug kadang males-malesan belajar iqro-nya, walaupun ya tetep dibaca (tapi girang banget pas libur iqro, hadeuh). Jadi, I gave him “the talk” about why he needs to learn to read the Holy Qur’an (dan artinya) in the simpelest yet serious way possible (without bringing up the fires of hell—too young for this age). And I compared his iqro book to the Qur’an, dijejerin depan dia. Nah, mulai deh dia ngeh dan jadi lebih semangat ketika bisa sedikit-sedikit membaca ayat Al Qur’an yang ada dalam beberapa surat juz amma. Ketika dia belajar mengenai tanda panjang-pendeknya suatu huruf dibaca, setelah itu saya menunjukkan bahwa tanda-tanda yang dia barusan belajar baca itu ada lho di dalam Al Qur’an... apalagi ketika dia bisa baca beberapa bagian tertentu—bukan main rasa senangnya dia! Sederhana tapi bermakna. Tetep siih kadang aja malesnya, tapi ngingetinnya cukup dengan mengangkat keberhasilan dia yang sebelumnya.



Meaningful learning menurut juga berfungsi sebagai “rem penahan” buat ambisi dan ketakutan orang tua. Semua anggapan orang tua masing-masing bahwa anaknya harus belajar A-Z sewaktu umur sekian, semua “prestasi” anak yang dia tunjukkan (“eh anakku udah hafal ini itu, udah bisa ini itu”)—back to the question, apakah itu bermakna buat anak itu? (bukan buat ortu/eyang/dst). Kids are sponges, menyerap informasi yang diberikan... tapi seberapa lama informasi itu akan terserap dan dianggap berguna kalau nggak dihubungkan dengan apa yang dialaminya sehari-hari? Itulah tugas kita sebagai orang tua, sebagai jembatan penghubung dan pendukung.

Misalnya, belajar menulis akan jadi bermakna ketika dia diajak menulis buku harian atau surat untuk kerabat yang jauh. Belajar membaca akan bermakna ketika dia bisa membaca sendiri buku cerita yang dulunya selalu harus dibacakan mama papanya. Belajar berhitung jadi bermakna ketika dia bisa melihat apa yang dia hitung, misalnya jumlah mobil-mobilan yang dibawa ke rumah eyang supaya nantinya nggak ada yang ketinggalan. Itu baru yang dasarnya... belum yang kompleksnya seperti belajar tentang sejarah, hewan-hewan, dsb. Belum soal belajar life skills seperti masak, nyuci, dsb. Di sini menurut saya, orang tua punya peran besar untuk meng-expose anak dengan beragam pengalaman sesuai umurnya. Semakin banyak exposure, maka anak dan ortu semakin punya banyak perbendaharaan reference yang bisa kita gunakan untuk membuat kegiatan belajar anak-anak lebih meaningful plus dengan sendirinya bisa membantu menjawab bagian “why?” si anak itu harus mempelajarinya. Ya tetap harus melihat umur, tapi anak-anak itu masyaaAllah nggak terduga kemampuan otaknya (that’s why I said, Allah is the guardian of our learning).


 Misalnya, bulan kemarin kami mengajak anak-anak ke Museum Nasional untuk Festival Dongeng Indonesia 2014. Sewaktu saya ikut workshop, anak-anak diajak keliling melihat sebagian kecil museum sama Si Hubs, di antaranya melihat prasasti-prasasti batu secara sekilas. Beberapa minggu kemudian, saya berniat melukis batu sambil lihatin anak-anak main sepeda di garasi (ceritanya mau bikin story stones) tapi anak-anak lihat alat lukis langsung take over dengan melukis batu jadi warna-warni. Tiba-tiba dengan santainya sambil melukis batu, Little Bug bilang, “Mama, kita seperti orang-orang jaman dulu yah yang gambar di atas batu”—err, what?!? MasyaaAllah, I did not expect that! Exposure yang sederhana bisa bermakna ketika dihubungkan dengan kegiatan sehari-hari. Jadilah diskusi singkat tentang media tulis (kertas dkk) dan merembet ke urusan kenapa nggak boleh boros kertas plus soal aturan tempat corat-coret.

Dari kejadian itu, saya secara pribadi jadi bisa berusaha lebih tenang untuk lebih mengendorkan kontrol saya atas materi pembelajaran anak-anak. Lebih bersemangat untuk terus fine-tuning dinamika kerjasama antara saya dan anak-anak dalam proses homeschooling ini, apalagi saat menjelang hs untuk jenjang SD insyaaAllah tahun depan nanti (yang sudah mulai ada materi belajar tertentu di luar minat belajar pribadi). Meaningful learning ini yang jadi “pelumas”nya supaya meminimalisir friksi antara keinginan saya dengan keinginan anak-anak. Saya ingin memfasilitasi minat anak-anak tanpa mengorbankan tujuan hs yg ingin saya capai. Saya juga nggak mau anak-anak punya sikap dan asosiasi yang negatif terhadap kata “belajar” itu sendiri, as if “belajar” itu adalah sebuah tugas berat tanpa makna dan tanpa guna. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat saya di kala lupa dan memberikan manfaat buat keluarga lain yang sedang berjuang di jalan ini :)