Okay, this is probably a sensitive
issue. Di masyarakat kita, stereotipe tentang apa yang pantas dan tidak pantas
dimainkan oleh anak-anak kecil berdasarkan jenis kelamin mereka, saya rasa
masih lumayan kuat. But we try to make a safe, gender-free play area at our
house. Semenjak Baby Bird belum lahir, Little Bug sudah punya 1 set permainan
masak-masakan plus celemek. Aneka stuffed-toys
atau boneka juga ada, meskipun waktu itu belum ada boneka berbentuk bayi
yah, belum nemu yang gender-neutral. Waktu awal-awal beli mainan masak-masakan,
si Hubs bereaksi seperti para ayah pemula pada umumnya: “kok anak cowok main masak-masakan??” Dan begitu pula ketika Baby
Bird sudah cukup besar untuk memilih mainannya sendiri di ruang main, “nggak apa-apa tuh Baby Bird main
mobil-mobilan?” Dan jawaban saya dari dulu sampai sekarang tetap sama:
insyaaAllah nggak apa-apa.
Insight dari buku “It’s OK not to share” dari Heather Shumaker, “play that crosses gender roles is creative and harmless. It won’t change who they are.” Jadi kacamata kita sebagai orang tua hendaknya melihat aktivitas bermain tersebut sebagai suatu proses anak yang sedang bermain dan mengeksplorasi berbagai macam peran dan kegiatan. Jangan disangkut-pautkan dengan jenis kelamin atau identitas diri sebagai laki-laki/perempuan—that is a whole different issue! Well, anak-anak memang belajar dari bermain kan? Anak tertarik pada masak-masakan, karena dia melihat kegiatan masak di rumah, suka diajak makan ke restoran untuk nyobain beragam jenis masakan baru, ataupun karena dia ingin mencoba untuk melakukannya sendiri (dengan cara yang aman untuk usianya). Main boneka? Anak-anak kita suatu saat nanti insyaaAllah akan menjadi orang tua juga kan? Bermain peran yang berbeda-beda juga membantu tumbuhnya empati pada anak. Yes, being able to imagine yourself in someone else’s shoes.. bagiamana perasaan mereka, kegiatan mereka, dan apa saja tantangan yang mungkin mereka akan hadapi.. it all starts from empathy. Dan buat yang punya anak kecil, udah pasti tau kalau mengajarkan empati ini butuh waktu dan proses yang lamaaaaa dan susah-susah gampang. *that’s why I don’t fuss over calistung at this early age, because soft skills like empathy dkk nggak mungkin dipelajari secara singkat*
- “Eeeh, masa’ anak cowok masak-masakan?” --> nanti gimana mau masak untuk diri sendiri kalau sudah tidak tinggal di rumah? Atau bantu di saat ada anggota keluarga yang sakit dan butuh makanan saat itu juga?
- “Anak cewek masa’ main mobil-mobilan?” --> lha, kita suka ajak anak-anak naik mobil kan? Wajar kalau mereka mau bermain mobil-mobilan. Nanti anak cewek ini kalau sudah bisa nyetir sendiri juga harus bisa merawat keamanan mobilnya sendiri :)
- “Anak cowok kok main boneka?” --> punya anak cowok yang bisa bantu ngemong adiknya itu suatu berkah banget lhooo... apalagi kalau nantinya jadi ayah yang involved dalam pengasuhan anaknya. Juga bisa jadi sarana anak-anak untuk memahami hadirnya adik baru dan perasaan-perasaan sulit (spt rasa iri, ketakutan nggak disayang lagi, dsb) yang menyertainya.
- "Anak cewek kok bawa pedang?” --> well, girls can be tough too! Mereka bisa belajar kapan untuk menjadi lemah lembut dan juga kapan harus tough ketika situasi tidak kondusif. Bisa juga jadi trigger diskusi bahwa membela kebenaran bisa dilakukan selain dengan cara perlawanan fisik.
- “Masa’ pilih warna itu? Kan itu warna cewek/cowok...” --> colors are for everyone.
Jadi intinya jaga reaksi kita terhadap kegiatan bermain anak-anak. Berikanlah
komentar yang non-judgemental dan apa adanya, sesuai dengan apa yang kita
lihat. Misalnya:
·
Oh, kakak lagi main dengan boneka hari ini.
·
Oh, mama bisa lihat kalau kamu lagi nyoba sepatu
mama ya?
·
Ade lagi bantu memperbaiki pintu rumah.
·
Wah, lagi masak apa siang ini?
·
Ade kuat ya, bisa manjat pohon sampai tinggi!
Semakin kita berbaik sangka dengan kegiatan anak-anak, maka akan semakin memudahkan anak untuk terbuka dan merasa aman bin nyaman mengekspresikan perasaan kepada kita (which is, the foundation of open communication as our kids grow older). Jadikan kesempatan ini untuk menggali cerita atau alasan di balik pilihan bermain mereka. Don’t assume, just ask! Jalan berpikir anak-anak itu bisa lebih sederhana—sekaligus bisa jadi lebih imajinatif dari yang kita duga! Kalau ada komentar-komentar yang sepertinya menyakiti perasaan si anak, kita sebagai orang tua bisa bantu menjadi fasilitator mereka dalam mediasi konflik seperti halnya konflik lainnya. “Mama/papa takut kalau kata-kata orang itu bikin ade sedih. Apa iya?” Lalu bantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaan mereka. Melalui bermain ini kita sebagai orang tua dapat menjadi dekat dengan anak-anak, memahami cara mereka memanadang dunia, berempati dengan mereka, dan yang paling penting bisa menanamkan family values kepada mereka. Happy playing!
Semakin kita berbaik sangka dengan kegiatan anak-anak, maka akan semakin memudahkan anak untuk terbuka dan merasa aman bin nyaman mengekspresikan perasaan kepada kita (which is, the foundation of open communication as our kids grow older). Jadikan kesempatan ini untuk menggali cerita atau alasan di balik pilihan bermain mereka. Don’t assume, just ask! Jalan berpikir anak-anak itu bisa lebih sederhana—sekaligus bisa jadi lebih imajinatif dari yang kita duga! Kalau ada komentar-komentar yang sepertinya menyakiti perasaan si anak, kita sebagai orang tua bisa bantu menjadi fasilitator mereka dalam mediasi konflik seperti halnya konflik lainnya. “Mama/papa takut kalau kata-kata orang itu bikin ade sedih. Apa iya?” Lalu bantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaan mereka. Melalui bermain ini kita sebagai orang tua dapat menjadi dekat dengan anak-anak, memahami cara mereka memanadang dunia, berempati dengan mereka, dan yang paling penting bisa menanamkan family values kepada mereka. Happy playing!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.