Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com
Okay, this is my “mom-rant” alias keluhan khas emak-emak.
Sebelum mulai, saya ingin membuat pernyataan disclaimer dulu: saya sangat
mensyukuri kota tempat tinggal saya sekarang. Saya menghargai upaya pemerintah
mempercantik lingkungan kota. Saya juga menyadari bahwa kami tinggal di area
perkotaan, di mana lahan terbuka hijau memang terbatas. Jadi, saya pun
bersyukur atas “apa yang ada” terlepas apakah hal tsb “ideal” ataupun tidak,
karena ya… “yang penting ada”. Saya juga bersyukur masih mampu membiayai
anak-anak saya untuk ke playground berbayar. There. Sudah ada disclaimer yaa… jadi mari mulai menyalurkan
rasa kecewa dan kehawatiran saya sebagai seorang emak HS atas semakin terbatasnya
fasilitas ruang bermain outdoor bagi anak-anak.
Jadi begini ceritanya…. Di kota
tempat kami tinggal, ada sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari rumah. Taman
itu terbuka dan gratis dan menurut saya cukup luas. Ada tempat buat
duduk-duduk, ada pohon-pohon yang rindang, ada area berumput yang cukup luas,
dan ada 2 buah set ayunan untuk anak-anak (yang pada prakteknya dipakai oleh bayi hingga para ABG). Sederhana tapi terdengar ideal buat
main anak-anak, bukan? Meskipun kami tidak ke sana setiap hari, namun setiap
kali ke sana, anak-anak selalu senang bermain ayunan atau sekedar berlari-lari
di area rumputnya. Kalau hari Minggu, taman itu ramai oleh keluarga dan ada
penjual makanan di sekitarnya plus penjual aneka mainan anak yang bisa
dimainkan di luar ruangan, seperti gelembung sabun, bola, dsb.
Nah, beberapa bulan yang lalu, taman tersebut tiba-tiba
direnovasi supaya menjadi lebih cantik. Hasilnya, memang lebih cantik. Tapi
saya dan anak-anak sedih karena ayunan kami hilang, digantikan oleh
trotoar/walkway cantik yang melintasi taman tersebut. Area rumput yang tadinya
cukup luas terbagi menjadi petak-petak yang ditumbuhi aneka tanaman/bunga yang
cantik. Area yang agak lebar pun adalah area yang dilandasi oleh semen, cocok
untuk duduk-duduk atau bersepeda (asalkan tidak ada yang sedang duduk-duduk di
sana). Juga ditambahkan neon box berupa huruf-huruf yang menghiasi taman
tersebut dengan namanya, dilengkapi dengan areal yang cukup memadai buat
ber-selfie ria.
Taman itu memang cocok buat jalan-jalan santai melintasi
taman atau misalnya naik otopet/sepeda. Atau sekedar duduk-duduk di bangku yang
disediakan. Cantik, memang. Tapi, kenapa ayunan kami diambil? Kenapa areal
rumput luas sekarang terpotong oleh walkway yang membaginya menjadi petak-petak
yang ditumbuhi tanaman yang cantik, yang “tidak boleh diinjak”? Anak-anak kalau
mau main lempar-lempar bola harus lebih berhati-hati karena arealnya menjadi
jauh lebih sempit. Mau lari-lari, ya masih bisa sih, asal nggak kesandung
batasan2 walkway atau nabrak orang yang lagi berjalan kaki santai melintasi
walkway taman. Paling sedih, kenapa areal buat nama taman lebih luas daripada
areal rumputnya? Kenapa buat selfie difasilitasi, sedangkan alat bermainnya
dihilangkan? I bet those neonbox letters cost more than 1 simple set of
playground equipment.
Seperti yang sudah saya bilang di disclaimer, saya masih
bersyukur taman tersebut ada dan tidak dijadikan menjadi tempat parkir atau
apa. Saya juga mengakui, taman tersebut lebih cantik dan rapi. Tapi anak-anak
kecil yang menjadi generasi penerus kota ini nggak butuh cantik dan rapi ataupun
tempat selfie—mereka lebih membutuhkan ruangan terbuka lebar yang hijau sebagai
tempat bermain.
Pernahkah kita menghitung berapa banyak areal playground
terbuka yang gratis, yang tersedia untuk anak-anak? Kota saya, yang ironisnya memiliki
banyak taman dan kebun yang cantik, kehilangan salah satu taman bermain
anak-anaknya. Kalau anak-anak saya mau berlari-larian dengan bebas, pilihan
terakhir saya hanyalah lapangan luas di pusat kota, yang itupun harus berbagi
dengan masyarakat yang juga menggunakannya untuk bermain bola. Atau ya saya
harus mengajaknya ke playground berbayar di berbagai pusat perbelanjaan. Ya,
kami harus membayar per jam untuk suatu hal yang harusnya menjadi hak mereka
sebagai anak-anak. Alhamdulillah kami bisa menyisihkan dana, nah buat anak-anak
yang orang tuanya bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan dasar, bagaimana caranya??
Di sini, saya merasakan playground sebagai barang mewah.
Hanya anak-anak yang menjadi siswa sekolah tertentu bisa menikmatinya, atau
harus ke mall dulu dan bayar untuk bisa menikmatinya dengan sesekali, sesuai
kemampuan orang tua. Mungkin mereka berpikir, buat apa menyediakan alat bermain
gratis kalau nantinya akan dirusak? Tapi bagaimana anak-anak akan belajar
merawat kalau tidak diberikan sama sekali? Apa susahnya mempekerjakan beberapa
orang satpam untuk menjaga keamanan playground publik?
Mungkin mereka
berpikir, anak-anak sudah bisa bermain di sekolahan. Tapi, apa kabar dengan
sekolah yang tidak memiliki alat bermain yang memadai? Belum lagi jam istirahat/bermain yang terbatas. Di sisi lain, orang tua yang libur pada
akhir pekan terpaksa membawa anak-anaknya lagi-lagi ke mall, karena hanya di
situlah tempat bermain anak-anak berada, baik yang gratis maupun berbayar.
Ah, anak-anak tidak membutuhkan alat-alat playground pun
sudah bisa bermain kok! Iya, memang… tapi adanya beberapa alat bermain seperti
ayunan,, perosotan, panjat-panjatan, dsb bisa membuka beragam kesempatan
bermain dan belajar keterampilan baru… tidak berhakkah anak-anak diberikan alat
bantu untuk menambah keasyikan bermain? Sebegitu rugikah mengeluarkan uang
untuk generasi cilik kita? Selama ini, ada taman untuk berlatih skateboard… ada
lapangan bola umum… ada lapangan bulu tangkis… bahkan ada taman buat
corat-coret graffiti—semuanya rata-rata untuk remaja ke atas. Kapankan
anak-anak kecil kita akan memiliki taman bermain yang layak dan khusus untuk
mereka? Haruskah mereka menjadi warga yang besar dulu untuk bisa menikmati
fasilitas ruang terbuka publik?
Anak-anak berlari bebas di sebuah taman kota yang letaknya sekitar 2 jam dari kota tempat tinggal kami |
Anak-anak kecil lah yang paling membutuhkan ruang terbuka lebar untuk berlari, lompat, eksplorasi, dan bergerak tanpa larangan “awas, nabrak! Awas, nggak boleh menginjak rumput!” dan berbagai macam peringatan lainnya. Tapi sayangnya, semakin lama, ruangan terbuka untuk mereka semakin berkurang. Padahal, kurangnya waktu dan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak dan bermain bebas di tempat terbuka bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar, mempengaruhi rentang perhatian mereka, koordinasi motorik mereka, dst. Intinya, anak-anak butuh ruang untuk bergerak pada usia mereka yang masih kecil, bukannya menunggu mereka besar dulu!
Saya tidak mau membandingkan kondisi kota tempat tinggal
saya dengan kota maupun negara lainnya, karena setiap tempat berbeda-beda
kondisi lingkungannya. Namun, saya hanya merindukan sesuatu yang sederhana yang pernah
saya alami sebelumnya (di 2 negara yang berbeda plus di kota tempat tinggal
kami saat ini) dan kini semakin lama semakin susah dijangkau, baik secara
lokasi maupun secara finansial.
Semoga tulisan saya ini bisa menggerakkan hati kita semua
untuk memikirkan nasib bermain anak-anak kita. Where there is a will, there is a way... we just have to remember that kids are our next generation, so they deserve to be thought of in the way that we think about facilitating the development of our teens and adults as part of our society.
Kalau di kota saya malah nggak ada taman yang bisa jadi lahan bermain anak sama sekali he he. Yang ada ayunan dsb kalau nggak di TK ya di tempat wisata, atau di playland di mall.
ReplyDeleteSalam kenal mba Arum, sy br mo bljr HS walau awalnya "terpaksa" krn si bungsu tdk diterima di sd negeri dekat rmh krn faktor usia :-)
ReplyDelete