“Fish swim, birds fly and people feel.”
–
Haim Ginott, child pyschologist, author of Between
Parent and Child.
Akhir-akhir ini, sepertinya saya banyak membaca berita
tentang kekerasan pada anak. Lebih tragisnya lagi, beberapa dilakukan oleh anak
yang lebih besar/tua kepada anak yang lebih kecil/muda, pada usia yang terbilang
belum dewasa. Sebagai seorang ibu, saya
nggak kebayang bagaimana perasaan ibu dari anak-anak yang menjadi korban
kekerasan tersebut. Kekerasan yang seharusnya nggak perlu terjadi. Saya merasa harus menulis ini, walaupun saya
bukan seorang pakar pendidikan anak atau seorang psikolog. Saya menulis ini
sebagai seorang ibu yang nggak pernah berhenti belajar (dan membaca) dan
memperbaiki diri, terutama dalam keseharian saya dengan anak-anak. Ya, mereka
memang masih kecil, tapi proses pendidikan mengenai emosi dan cara
menyalurkannya sudah berlangsung sejak mereka bisa menangis.
Saya termasuk seorang mama yang pada awalnya merasa tidak
nyaman mendengar anak-anak menangis dan rewel. Tapi setelah membaca dan berusaha
menerapkan prinsip-prinsip positive
discipline/peaceful parenting, saya belajar untuk menerima semua emosi
anak, termasuk yang negatif. Ini tidak mudah untuk dilakukan, bahkan butuh
waktu lama... termasuk saya, masih terus berlatih sejak 3 tahun lalu ketika
Little Bug mulai tantrum-mania hingga sekarang menghadapi duo bocah yang sudah
mulai berantem untuk 1001 alasan.
Siapa sih yang tega mendengar anak menangis meraung-raung,
tantrum selama lebih dari 30 menit? Boro-boro 30 menit, didikan dan harapan
masyarakat kita pada umumnya adalah anak nggak boleh menangis. Rengek dikit
sudah di-shush-kan atau dituruti
kemauannnya. Apalagi menangis karena alasan yang tampak sepele, biasanya akan
ditanggapi dengan kata-kata “Gitu aja kok nangis? Kamu kan udah besar! Nggak
baik ah nangis! Cowok nggak boleh nangis! Nggak boleh cengeng!” Padahal, yang
perlu ditanggapi bukanlah tangisan itu semata melainkan perasaan yang ada di balik tangisan atau rengekan itu! Karena di
dalam dunia anak-anak, nggak ada perasaan yang sepele. “When it comes to young children, feelings are their world”
(Shumaker, 2012). Perasaan yang mendorong terjadinya rengekan, tangisan, pukulan,
tendangan, atau keluarnya teriakan keras itu.
In reality, life isn’t
all sunshine and rainbows. Nggak melulu senang, ada kala sedih dan kesal.
Terkadang kita nggak mendapat apa yang kita inginkan, nggak semua rencana
berjalan sesuai rencana, dan berbagai hal yang membuat kita merasa sedih,
kecewa, takut, marah, atau campur aduk semuanya. Begitu pula dengan
anak-anak--- mereka bukan dewasa mini, mereka adalah anak-anak yang perlu diajarkan keterampilan untuk menghadapi semua
emosi negatif yang timbul di dalam diri mereka. Itulah tugas penting kita
sebagai orang tua, pengasuh, dan guru. Dan untuk mengajarkan keterampilan menyalurkan perasaan ini juga butuh
waktu yang nggak sedikit, nggak secepat mengajarkan calistung. Proses yang
panjang dan dimulai sejak dini, dengan kita sebagai contoh teladan. Nah lho!
Kapan terakhir kali kita marah tanpa meluap-luap ke anak? Apakah kita sendiri
sudah bisa mengungkapkan emosi negatif dengan tepat?
“All feelings are OK.
All behavior isn’t.” (Shumaker, 2012). Ketika anak merasakan emosi negatif,
pertama kita harus membantu anak mengidentifikasi dan me-label emosi yang
dirasakan. Dengan anak yang paling kecil, hal ini bisa menjadi saat yang tepat
untuk mengajarkan berbagai label emosi ketika si anak mengalaminya, misal
dengan bilang, “Ade marah karena nggak dibelikan mainan... Ade sedih karena Eyang
harus pulang... dsb” . Anak yang lebih besar juga bisa dibantu untuk
mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata.
Kedua, sebagai orang tua/pengasuh/guru, kita harus menunjukkan
ke anak bahwa kita menerima (accept) dan
menghargai (value) bahwa anak kita
sedang merasa demikian. It’s OK not to be
happy all the time (Shumaker, 2012). Kita harus memberikan waktu untuk anak
untuk merasakan sedih ketika mereka sedih, marah ketika marah, dsb. Dan kita
harus mendukungnya di kala sedang down, bahwa
perasaan ini akan datang dan pergi, tinggal bagaimana kita akan menghadapinya. Anak
akan merasa bahwa dia dihargai dan didengarkan, bahwa perasaannya nggak
disepelekan, dan kita menjadi sumber yang dipercaya untuk bercerita tentang
permasalahan yang sedang dihadapi.
Ketiga, kita dapat menunjukkan perilaku yang dapat diterima
untuk menyalurkan perasaan tersebut sekaligus menunjukkan batasan perilaku apa
yang tidak dibolehkan. Jadi, anak bisa mengekspresikan emosi tanpa menyakiti diri
sendiri, orang lain atau merusak benda lain.Misalnya ketika anak merasa marah
dan ingin memukul, arahkan pada bantal atau kasur, bukan pada orang, sambil
berkata “Ade pukul bantal aja ya, bukan pukul Mama” atau “Kakak kalau mau
teriak bisa ke dalam bantal atau di kamar dengan pintu tertutup ya, supaya
nggak bikin sakit telinga orang lain”. Atau misalnya anak tantrum, biarkan dia
tantrum di area yang aman (misalnya di kamar atau area yang sepi), yang dia
tidak dapat melukai dirinya sendiri ataupun orang/benda lain di sekitarnya.
Kalau mau menangis, dibiarkan menangis, bahkan untuk anak laki-laki, karena
menangis adalah bagian dari meluapkan emosi. Kuncinya adalah membiarkan anak
itu meluapkan emosi terlebih dahulu supaya merasa lega. Baru setelah tenang
bisa diajak diskusi dan diajak mencari solusi bersama.
Untuk ke depannya atau pencegahannya, anak bisa diajak membuat daftar hal-hal
yg dapat dia lakukan untuk kembali tenang ketika mengalami emosi negatif. Kami
membuat sebuah area bernama “pojokan tenang” di rumah yang ada papan dengan
tempelan list ide tersebut sebagai pengingat ketika sedang marah. Little Bug
juga menempelkan gambar-gambar yang membuat dia senang, seperti gambar Lego
kesukaannya, hahaha!
Kenapa penting sekali untuk menerima seluruh emosi anak (yg
positif dan negatif) dan mengajarkan cara menyalurkan yg bisa diterima? Karena perasaan
negatif tersebut tidak akan hilang begitu saja: dengan dipendam, diabaikan,
atau disepelekan lama-lama malah bisa bisa meluap tak terkendali, hingga
takutnya menyakiti diri sendiri dan/atau orang lain. Penyebab yang tampak
sepele bisa memicu keluarnya luapan emosi yang sudah lama terpendam. Jatuhnya gorengan
senilai Rp1000 bisa memicu pemukulan yang mengakibatkan kematian, astagfirullah! :(
Sebagai seorang mama, menurut saya pembelajaran keterampilan
emosi ini yang paling berat, sulit, dan lama. Nggak ada jalan pintas, kita
harus menjalani prosesnya. Yang paling penting, kita tidak boleh tutup mata terhadap aspek perkembangan sosioemosional
ini, apalagi dibutakan oleh prestasi akademis yang mungkin menutupi ketimpangan
dalam keterampilan pengelolaan emosi. Dengan tiap anak pasti cara dan kiat coping emosi berbeda-beda, tapi
tujuannya sama: agar anak-anak bisa memiliki keterampilan untuk menghadapi
keseluruhan ragam emosi yang akan dialaminya dalam hidup. Dengan membantu anak-anak menghadapi emosi
mereka, maka kita akan membantu anak-anak untuk lebih terampil mengendalikan
perilaku mereka sendiri, bahkan ketika kita tidak mengawasi mereka. Tentunya
dengan tidak mengesampingkan aspek pendidikan keagamaan, pendidikan
keterampilan emosi adalah bekal yang akan awet seumur hidup mereka, apapun yang
mereka hadapi kelak dalam hidup.
Bacaan referensi:
Shumaker, Heather. 2012. It's OK NOT to Share and Other Renegade Rules for Raising Competent and Compassionate Kids. USA: Penguin Group
Markam, DR. Laura. 2012. Peaceful Parent, Happy Kids. USA: Penguin Group.
website: Janet Lansbury, Aha!Parenting.com
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.