Wednesday, December 30, 2015

Sunat 101

Ditulis oleh Arum Budiani, 
pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

Alhamdulillah, Little Bug tanggal 25 Desember kemarin sudah disunat, yeayy! Liburan sekolah memang identik dengan sunatan, karena kebanyakan orang tua memilih waktu libur yang agak lama supaya pemulihan pascasunat bisa berjalan dengan santai, tanpa memotong waktu sekolah. Lah, kami kan homeschool, apa bedanya? Well, Little Bug ada jadwal les music yang sayang kalau harus terlewati, jadi kami memilih ketika lesnya juga libur 2 minggu hehehe J

Anyways, saya ingin berbagi beberapa tips yang menurut kami bisa membantu memperlancar prosedur sebelum, ketika, dan sesudah sunat pada anak. Sebelum proses sunat, saya mencari-cari artikel di internet soal sunat dan yang ketemu banyak malah iklan sunat, hikz.. jadilah bertekad berbagi pengalaman setelah sunat supaya ortu yang kebingungan seperti saya tidak bernasib sama hehehe J  Yang perlu diingat hanya bahwa setiap anak berbeda-beda, jadi silahkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga & anak masing-masing ya J  


Sebelum Sunat

  •  Kami mulai sounding tentang sunat itu jauh sebelum sunat dilakukan… mungkin setahun atau 2 tahun sebelumnya. Soundingnya nggak terus-terusan, hanya pas sikon mendukung dan juga sambil meyakinkan kalau kita percaya Little Bug akan berani melakukannya saat dia siap. Nah, kapan mau sunatnya terserah si anak, makanya soundingnya mulai dari lama (saat ini Little Bug 6,5thm, kami sudah mulai sounding sejak umur 4thn an).  Kalau ada temannya yang sunat, kami beritahu juga dan kami ajak berkunjung beberapa hari setelah si anak sembuh untuk memberikan ucapan selamat sekaligus saya memperlihatkan kalau pasca sunat insyaaAllah akan baik-baik saja.


  • ·         Isi sounding pada intinya adalah memperkenalkan bahwa sunat itu ada dan harus mereka lalui. Tidak lupa kami menjelaskan kenapa sunat itu harus dilakukan, baik dari segi agama maupun kesehatan. Dan dari segi kesehatan, kami juga menjelaskan kalau lebih cepat lebih baik, karena semakin lama maka semakin rawan untuk kotoran terselip di bagian ujung alat kelaminnya meskipun kita selalu berusaha membersihkannya dengan sebaik mungkin.


  • ·         Kami pribadi memberitahu Little Bug bahwa kami berharap dia bersedia sunat sebelum umur 7 tahun, akan tetapi pemilihan waktunya terserah dia kapan dia siapnya, baik sebelum atau saat umur 7 tahun itu. Itu preferensi pribadi ya, karena kami anggap 7 tahun sudah mulai lebih banyak mendalami Islam sehingga inginnya sudah disunat sebelum atau pada usia tsb.


  • ·          Kita jelaskan prosedurnya secara sederhana, baik pengertian tentang apa yang akan dilakukan maupun perbedaan antara beberapa metode sunat. Kami memberikan 2 pilihan metode untuk Little Bug (konvensional/bedah di RS vs clamp) dan dia akhirnya memilih metode clamp setelah melihat beberapa temannya  memilih metode yang sama plus dia lebih nyaman sunat dilakukan di klinik kecil daripada di RS. Silahkan mencari info sebanyak-banyaknya mengenai berbagai metode sunat (dari internet, ke tempatnya langsung, tanya ke teman yang sudah menyunatkan anaknya, tanya dsa keluarga, dsb). Semua metode ada risikonya, plus minusnya... pilih yang paling sesuai buat keluarga dan anak, perbanyak istikhoroh supaya tenang dalam mengambil keputusan.


  • ·         Sounding disesuaikan isinya dengan sikon yang ada. Di awal-awal penjelasannya masih sederhana , makin anaknya besar maka sedikit-sedikit ditambah penjelasannya dengan yang lebih detail. Jadi pemahaman si anak dibangun sedikit demi sedikit tentang prosedur ini.


  • ·         Kami tidak berbohong mengenai rasa sakitnya. Nggak didramatisir juga (please, jangan yaaa) tapi dijelaskan apa adanya. Kami jelaskan akan sakit sebentar saat disuntik anastesi, lalu pas prosedur sunat tidak akan terasa apa-apa karena efek suntikan anastesi tadi. Sakit berikutnya ketika efek obat hilang, itupun akan terbantu oleh obat pengurang rasa sakit. Dan kami dengan lembut meyakinkan bahwa kami akan menjalankan seluruh proses bersama-sama--- dia tidak akan sendirian.


  • ·         Setelah Little Bug bersedia disunat, kami menentukan tanggal. Nah ini kami putuskan berdasarkan 2 hal: jadwal yang tersedia di tempat sunat dan jadwal yang memungkinkan si Hubs untuk cuti. Yes, little boys need their dads for this one! Kalau seperti si Hubs yang susahhhh cuti, bisa diakali dengan pilih sunat pada hari Jum’at, supaya bisa meminimalisir jumlah hari cuti. Pengalaman dengan Little Bug, yang beraduh-aduh ria itu hari pertama dan hari ke-2, selanjutnya udah mulai terbiasa pada hari ke-3. Jadi usahakan ada si ayah pada hari pertama sampai ke-3, minimal sampai hari ke-2. Untuk jadwal dari tempat sunat, semakin awal semakin baik supaya anak nggak jiper duluan kalau-kalau pasien sunat sebelumnya teriak-teriak/menangis heboh. Atau kalau dapat jadwal yang agak siang, mungkin bisa diakali dengan menunggu di mobil sampai saat gilirannya.


  • ·         Tanggal sudah oke, lalu apa lagi?  Have fun together!!!! 1-2 minggu sebelum sunat, saya sengaja ajak Little Bug jalan-jalan atau main apapun kesukaannya. Ya tentunya diatur sedemikian rupa  supaya kondisi anak-anak tetap fit sebelum sunat. Intinya, si anak dibuat happy dulu sebelum nanti pemulihan pascasunat di rumah. Dengan menghabiskan waktu bersama melakukan apa yang dia suka, kita bisa meningkatkan bonding dengan anak-anak dan itu diharapkan bisa mempermudah anak-anak untuk lebih kooperatif saat prosedur sunat maupun saat pemulihannya. Nggak perlu mahal-mahal atau jauh-jauh, yang penting menghabiskan waktu melakukan apa yang mereka suka.


  • ·         Kami juga bersama-sama menyiapkan kegiatan untuk dilakukan di rumah saat pemulihan. Kita bisa memilih mainan/games untuk dimainkan bersama, buku-buku untuk dibaca bersama, film untuk ditonton bersama, dst. Di sini juga ada bagian dari negosiasi reward pascasunat hehehe… J Sesuaikan dengan kegemaran anak dan yang kira-kira bisa mengalihkan perhatian dari rasa sakitnya. Little Bug sangat suka Lego, jadi itu yang menjadi andalan kami kemarin (dan berhasil, dari pagi sampai sore ya nguplek aja terus hehehe). Selain itu, kami pada dasarnya menerapkan pembatasan penggunaan gadget dan screen-time, tapi kami “sesuaikan” untuk hari pertama dan ke-2 pascasunat kemarin J


  • ·         Jangan lupa siapkan obat merah, cotton bud, tissue basah, tissue kering, dsb sebagai “peralatan tempur” ketika anak nantinya buang air kecil pasca sunat. Tanyakan pada dokter apa saja yang harus disiapkan, sesuai dengan metode sunat yang digunakan.



Saat Hari-H Sunat

  • ·         Apapun yang terjadi, pasang muka tenang dan senyum! Kalau kecemasan di hati kita berlebihan, itu akan dirasakan oleh anak-anak, trust me! Anak-anak butuh didampingi mama-papa yang tenang dan berpikir positif terhadap Allah. Kalau mama-papanya cemas berlebihan, bagaimana anak akan bisa tenang mengandalkan kita untuk mendampinginya melalui seluruh prosedur sunat?


  • ·         Kalau anak merasa cemas, dengarkan dia dan katakan kalau wajar merasa cemas sebelum tindakan medis apapun. Kita juga bisa jujur dengan anak kalau kita juga ikut merasa cemas menanti prosedur sunat, lalu secara lembut mengingatkan kalau Allah selalu bersama dengan kita dan yakinkan kalau kita akan melalui ini bersama-sama sebagai sebuah tim.


  • ·         Ini mungkin terdengar seperti pesan sponsor, tapi memang sebaiknya yang mengantar sunat adalah orang-orang terdekat saja, jangan 1 RT, hehe ;p Takutnya semakin banyak pengantar malah semakin besar tekanannya… dan semakin rame di tempat sunat haha! Eyang-om-tante-pakde-bude-sepupu-tetangga-dst bisa diarahkan untuk menemui di rumah saja setelah selesai prosedur sunatnya. Kehebohannya di rumah aja ya, supaya nggak nambah deg-degan sebelum masuk ruang sunat hehehe J


  • ·         Bawa bekal makanan ringan+ minuman yang disukai anak. Obat bius memiliki masa berlaku dan obat pereda nyeri sebaiknya diberikan beberapa saat sebelum efek bius benar-benar habis. Tanyakan hal ini kepada dokter yang menjalankan operasi, jangan lupa! Mananan dan minuman berfungsi agar anak bisa makan & minum sebelum mengkonsumsi obat pereda nyeri.


  • ·         Dampingi dan pandu anak selama prosedur sunat. Jelaskan dengan nada tenang dan secara sederhana apa yang akan dokter/perawat lakukan step-by-step sesaat sebelum dilakukan supaya anak nggak merasa bingung/kaget. Dan ingatkan kembali bahwa dia akan disuntik obat bius sehingga nggak akan terasa apa-apa ketika prosedur sunat dilakukan. Pengalaman kemarin, Little Bug menjerit-jerit saat disuntik anastesi… selebihnya bisa tenang karena sudah baal, hehehe! Kalau anak jejeritan dan menangis meronta, jangan ikut panik! Tetap berusaha tenangkan dan yakinkan klo kita ada di sampingnya. Just hang in there, your kid needs you more than ever to stay calm… so he can stay calm!


  • ·         Last but not least, batasi foto-foto saat prosedur sunat. It’s a very personal procedure and your kid needs you more than the photos. ‘Nuff said.



Setelah Sunat

  • ·        Ingat bekal makanan/minuman yg dibawa? Makan dan minum supaya anak bisa minum obat pereda nyeri beberapa saat SEBELUM efek obat bius hilang. Lumayan bisa mengurangi drama di awal-awal masa pemulihan.


  • ·         Papa/Mama statusnya on stand-by pas hari pertama abis sunat. Kalau Little Bug apa-apa maunya dengan papanya, jadi si Mama urus-urus yang lain hehe. Kalau para ayah mengeluh capek, kita ingatkan dengan lembut kalau sunat hanya sekali seumur hidup (well, dikalikan dengan jumlah anak laki-laki yang dimiliki ya) dan ini saatnya mereka memanjakan si anak jadi dinikmati aja hehehe!


  • ·         Ingat semua kegiatan yg disiapkan sebelum sunat sebagai aktivitas pascasunat? Bring them on! Mulailah dengan kegiatan yang paling bisa mengalihkan perhatian anak dari rasa sakitnya. Kemarin kami menyediakan beberapa film dan games di tab pas awal-awal, karena itu yang lumayan ampuh. Selain itu, bermain Lego juga ampuh menyerap perhatiannya untuk waktu yang cukup lama, hehe J Sesuaikan dengan kesukaan masing-masing anak ya J

Little Bug main Lego kesukaannya pascasunat, bisa seharian! Caption kecil: Little Bug apa-apa maunya sama si Hubs, dari bangun tidur sampai tidur lagi :)


  • ·         Kami pribadi belum merencanakan kapan atau dalam bentuk apa syukuran sunatnya. Fokus di pemulihan dulu supaya perhatiannya nggak terpecah… anak-anak lebih butuh kehadiran kita dan keluarga terdekat di saat pemulihan daripada perayaan dengan banyak orang-orang yang belum tentu ia kenal baik J


  • ·         Kalau saran untuk makan & istirahat yang cukup mah udah umum ya. Yang penting kita juga jangan overly strict atau galak atau protektif dengan anak selama masa pemulihan. Usahakan tetap menciptakan suasana yang positif dan semangat untuk sembuh sehingga bisa cepat pulih lukanya. Anak dibuat se-happy mungkin meski sedang bergelut dengan rasa nyeri… yakinkan dia kalau insyaaAllah dia bisa melewatinya dan kita yang menjadi penyemangat no.1, bukan pihak yang menakut-nakuti dengan segala macam ancaman dan scenario menyeramkan J


Special notes:

·         Orang bilang, sunatan adalah “hajatnya anak laki-laki”. Bagi saya, pengertian akan maknanya “hajat anak laki-laki” tersebut bukan pada besarnya perayaannya, tapi lebih kepada besarnya perhatian kita kepada si anak laki-laki kesayangan sebelum, pada saat, dan sesudah prosedur sunat tsb. The greatest gift we can give is our attention and our presence, not presents. Untuk Little Bug, dia bisa menghabiskan waktu banyak dengan papanya yang khusus cuti untuk hari sunatnya dan setiap malam dikipasin manual (ala tukang sate) sampai dia tertidur pulas (padahal dah pake AC hahaha). Saya juga bisa menghabiskan waktu dengannya sebelum sunat, mengajaknya seharian jalan-jalan ke taman yang sangat ia sukai dan makan apa yang dia gemari. Eyang-eyangnya pada datang ke rumah dan memberikan perhatian secara bergantian. Kami merasa semakin dekat dan kompak sebagai sebuah keluarga yang telah melewati proses ini bersama. Itulah makna yang sesungguhnya, “hajat” yang paling penting J

Semoga pengalaman dan hikmah yang kami ambil dari pengalaman sunat Little Bug bisa membantu ya J  Stay calm and enjoy the once in a lifetime process as a family J



Tuesday, December 22, 2015

Confessions of a real, imperfect Mom

The mothering world out there is harsh. Yep, no kiddin! Dengan tanggung jawab membesarkan seorang anak (atau 2, 3, bahkan lebih), tekanan untuk menjadi “the ultimate supermom” itu sangatlah nyata. Seolah-olah your existence will be graded on how your kids will turn out. Sejak masih mengandung, kita sudah dibombardir dengan berbagai macam pilihan buat si baby setelah dia lahir nantinya: cloth diaper or disposable, breastmilk or formula, organic food or ordinary available groceries, co-sleeping or independent sleeping, ….. the list goes on and on and on and on. And then comes social media with the pictures and statuses of Moms who make all their kids meals from scratch from their own organic garden, make their toys from all recyclables, have the clean house like from the magazine pages,  and all the “ideal” things we all want for ourselves and our children. After all, our kids are top priority, so we want only the best for them, right?

The thing is, the pressure is so intense to be the ultimate super-duper mom that sometimes we lose ourselves in the beautiful journey of motherhood. We think that being a mom is another chore to cross off our daily list. But it's not. 

You forget that being a mom is a lifelong BLESSING. And your kids LOVE YOU for who you are, not for what others think about you.

 You can be so busy in trying to create the “Perfect and Ideal” that you lose sight of what’s important: loving you for who you are and being happy just being together with your children. 

Don’t get me wrong, we all have ideals and goals to strive towards. But don’t treat motherhood as if it were a black and white TV show. The episodes of motherhood are far from black and white, right or wrong. Apart from the religious and moral rules that we follow, the rest is an infinite number of pixels and colors that make your journey the ultimate blessing that God gave you. Each and every mother’s journey and struggle is her own. You are not one to judge them because you will never know her whole story. Remember, mothers are humans that make mistakes. Mothers are also lifelong learners that do their best within a given circumstance, so we should treat each other like that. Spread knowledge without judgement, because each mom will make decisions based on what’s feasible for her family, which sometimes might just be the best of the worst choices that she has.

So for all fellow moms out there…
Stop pressuring yourself because you are not perfect! Anak-anak akan belajar bahwa menjadi seorang manusia tidaklah harus sempurna.. yang penting adalah kita tidak pernah berhenti berusaha  untuk melakukan yang terbaik yang kita bisa. Bacalah banyak ilmu soal parenting dan pilihlah yang kira-kira cocok buat keluarga dan situasi yang dijalani. Take baby steps with your kids because your journey is not for them, but with them. Jelaskan ke anak-anak (dengan sederhana) bagaimana kita berusaha menjadi lebih baik sedikit demi sedikit. It’s okay to let them know if you make mistakes.. minta maaf dan beri tahu upaya kita untuk belajar dari kesalahan itu. Dengan demikian, kita memberikan contoh nyata bahwa it’s perfectly human to make mistakes, dan yang penting terus berusaha belajar menjadi lebih baik. 

Nikmatilah waktu makan dengan anak-anak, apapun makanannya. Nikmatilah waktu bermain dengan anak-anak, apapun mainannya. Nikmatilah waktu dengan anak-anak, titik. Be happy just being with them, apapun momennya.

And be happy being you, a mom. Take time to take care of yourself. Eat chocolate when the kids are sleeping. Watch cartoons with them in your pijamas from time to time. Have ice cream for breakfast as a special treat. You make your own happiness, not others. Never stop learning, never stop loving. 


Happy Indonesian Mother’s Day. Be happy, Moms… enjoy your blessing!

Thursday, December 03, 2015

Ideal vs. Real


3 Desember 2015

Hallo semuanya, lama tak bersua J Tak terasa sudah menjelang akhir tahun 2015 dan juga akhir semester 1 untuk kelas 1 SD (bagi yang menggunakan sistem semester). 6 bulan pertama bagi kami dalam jenjang formal kelas 1 SD itu banyak sekali penyesuaian, perjuangan, dan juga penemuan—dan proses ini masih berlanjut ya, hehehe… I just thought I’d write to tell you how it has really been. Bukan mau menakut-nakuti dan bukan juga mau mengumbar aib pribadi, postingan ini lebih kepada pengingat buat diri saya sendiri untuk terus berjuang dan terus bersyukur atas apa yang ada.
Coming in to this homeschooling thing, I had a lot of ideals. Don’t get me wrong—I still do. Hanya saja, saya belajar untuk lebih luwes untuk menyesuaikan antara “the ideal” vs. “the real”… sama-sama beakhiran “-eal”, tapi huruf depannya beda haha.

Pada umumnya, awal tahun ajaran itu sudah membayangkan akan ini-itu dengan jadwal rapi setiap harinya. Think again! Life happens. Bisa jadi pagi itu Baby Bird bangun tidur disertai tantrum selama 30 menit. Atau mendadak si Hubs dinas ke Jakarta dan kami menemani perjalanan ke sana supaya nggak kena 3-in-1. Atau ada pameran keren yang hanya hari itu saja padahal jaraknya lumayan sehingga jadinya pergi seharian. Atau Little Bug butuh waktu extra untuk membahas suatu materi tertentu sehingga yang lain jadi tergeser. Atau ada yang sakit. Atau hal-hal lain yang sifatnya di luar dugaan. Yep, life happens. What I learned: just enjoy and focus on the time being together. Little Bug pernah nyeletuk, “Yang penting kita bareng-bareng kan, Ma?” J

Belajar memang nggak kenal tempat dan waktu. Teorinya begitu tapi kadang masih merasa dikejar-kejar oleh materi yang belum tercover. Face it, sebagian besar dari kita adalah produk sekolah formal selama 12+ years yang penuh dengan target-target capaian materi kurikulum. Dan meskipun kami memliih untuk mengikuti aturan pemerintah mengenai sekolahrumah (that’s what they call it), mengelola waktu supaya bisa tercapai ideal “belajar apa saja di mana saja kapan saja dengan siapa saja” dan juga memenuhi persyaratan negara… butuh banyak legowo nya. Anak-anak nggak akan sadar dengan tekanan tersebut kecuali kalau kita turut menekan mereka… jadi jangan!  Cukup mereka tahu setahun ke depan ada topik-topik apa saja yang akan dibahas. Selebihnya biar kita yang fasilitasi dengan metode yang paling cocok dengan anak-anak. Focus on the positive. Focus on the excitement of learning something new. Jelaskan kenapa hal tersebut penting/relevan untuk dipelajari. Focus on fun field trips that you can go on or intriguing projects you can do. Dan selalu kaitkan dengan kehidupan sehari-hari setiap ada kesempatan.



Kita sebagai fasilitator yang harus kerja keras mengawasi waktu, supaya tetap fleksibel untuk memenuhi keingintahuan mereka tapi di sisi lain juga nggak lupa waktu. Enaknya homeschool ya anak didiknya hanya anak-anak kita aja, jadi kalau butuh menyesuaikan waktu akan lebih mudah diakali. Kita punya sepanjang hari, which is a lot!Kita sebagai orang tua pelan-pelan bisa belajar untuk legowo dan enjoy dengan proses belajar yang terjadi meskipun tidak sesuai jadwal, tidak sesuai rencana awal, atau bahkan "ketinggalan" menurut kita... insyaaAllah there is room for flexibility and time for catching up.. anaknya cuma anak kita aja kan, bukan sekelas isi 40? Hehehe... :)  Plus kita nggak harus stuck di 1 metode saja—we can facilitate the learning process however we want. Misalnya ketika belajar soal rukun Iman, saya membacakan cerita tentang malaikat sebelum Little Bug tidur. Contoh lain, saya membahas materi soal bangun ruang matematika melalui kegiatan bermain balok kayu di sore hari. Atau perubahan bentuk benda dan karakteristik benda melalui sensory play jelly beku saat akhir pekan. Lama-lama Little Bug juga bisa belajar bahwa dalam sehari itu ada alokasi waktu yang bisa dia gunakan dengan bebas dan juga ada waktu untuk menyelesaikan hal-hal yang diperlukan. 

Real life is like that. Ideally, they are free to do whatever they want the whole day, seperti saat mereka masih balita (siapa sih yang nggak mau? Haha). But in reality, the older you get, the more obligations to finish before you can do what you want… that’s when you learn to prioritize, etc. Dalam hal ini, mulai jenjang kelas 1 ini, Little Bug ada paperwork/kegiatan terstruktur sesuai kurikulum nasional di luar waktu bebasnya untuk belajar/bermain yang lain. Supaya bisa legowo? Make those obligations as fun or enjoyable as you can using creative ways. Find meaning in them and do your best to enjoy fulfilling them. Jangan berpikiran bahwa kewajiban tersebut nggak ada gunanya dan kita terpaksa melakukannya. Perception is important… jadi tugas kita sebagai orang tua untuk memfasilitasi supaya persepsi anak-anak tetap positif. Some things is life you may not like but you just gotta tough it out. But who says you can’t find enjoyable ways to do them? Hehe ;)

Ketika menemui tantangan atau kesulitan, saya selalu ingatkan Little Bug mengenai konsep growth mindset – bahwa otak dia adalah otot yang sedang dilatih, makin sering dilatih makin terampil. Cara melatih otak ya dengan berbagai tantangan atau kesulitan. Misalnya dalam hal menulis rapi: dia sedang melatih otaknya untuk mengkoordinasi otot-otot di tangan supaya bisa menulis dengan rapi dan terbaca. Saya sering menyemangati dengan kata-kata “it gets easier the more you do it” meskipun dia tampak nggak percaya, hehe ;p You can read more about the growth mindset here.


Last but definitely not least, don’t forget to think positive towards Allah in all of your days. Your day might not start out the way you planned it, or it might not turn out the way you planned it, but it sure is the way Allah planned it for you, and He is the best of all planners. Don’t lose your ideals as long as you can balance it with the real…. Just do your best and be thankful for each day, because life can be messy at times but it’s always a blessing to be alive and living it together with your family!

Saturday, August 22, 2015

Film “Inside Out”: Getting in touch with our own Emotional Headquarters

(Picture from Wikipedia)


Ditulis oleh: Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

*warning: may contain spoilers*

Akhirnya... film “Inside Out” yang ditunggu-tunggu ini, diputar di bioskop di sini! Jarang-jarang saya benar-benar suka dengan suatu film..tapi ini adalah film yang sangat sangat berkesan buat saya dan anak-anak. Nah saya akan sharing tentang insight  apa saja yang bisa diambil dari film ini. Namanya emakHS, pastilah nggak lepas dari mencari “teachable moments” atau learning opportunities, dan hal itu termasuk dengan film ini, hehehe! Nah, berhubung film ini bener-bener membahas soal emosi, maka menurut saya, film ini WAJIB DITONTON buat para orang tua, eyang, om-tante, guru, pengasuh, dan orang-orang dewasa lainnya yang sehari-harinya akan berinteraksi dengan anak-anak/pra-remaja/remaja. Bisa jadi kita juga bisa menyembuhkan diri sendiri setelah menonton film ini, hehehe ;p

Okay, selama nonton film ini (bahkan sebelum atau setelahnya), silahkan memikirkan insight-insight berikut...

1. Film ini sebagai alat bantu untuk memvisualisasikan berbagai emosi dasar manusia dalam bentuk yang konkrit, ketika menjelaskan ke anak-anak soal emosi-emosi tersebut.
Kelima tokoh emosi memiliki ciri-ciri yang mendukung gambaran emosi tersebut, misalnya Anger yang berwarna merah dan kadang berapi-api, Sadness yang “blue” dan selalu melankolis, dan Fear yang digambarkan sebagai karakter kurus kecil yang selalu ketakutan.  Labeling emosi itu adalah dasar dari proses pembelajaran tentang manajemen emosi, dan membutuhkan proses yang lamaaaaa... jadi alat bantu apapun sangat bermanfaat, apalagi kalau semenyenangkan film ini, hehehe!

2. Film ini memberikan gambaran secara sederhana, menarik, dan cukup mudah dipahami  mengenai berbagai macam dinamika emosi yang terjadi dalam otak kita ketika menghadapi suatu kejadian tertentu serta tentang cara kerja ingatan.
Meskipun terdapat beberapa hal yang tidak sepenuhnya akurat secara ilmiah, seperti yang tercantum dalam artikel ini dan ini, namun film ini bagi saya bisa jauh lebih mudah daripada saat kuliah saya mempelajarinya dalam mata kuliah psikologi faal dan psikologi umum (atau kognitif ya... lupa)!

3.  Film ini berisi pembelajaran soal emosi dasar manusia untuk seluruh keluarga.
Menurut saya, anak usia SD sudah mulai bisa mengerti isi pesan yang terkandung dalam film ini. Meskipun demikian, anak-anak balita seperti Baby Bird (yang sekarang berusia 3.4 thn) mungkin hanya akan melihat kalau karakter emosinya lucu-lucu dan bisa sekalian melatih mereka membedakan nama-nama tokoh emosi tersebut J
Nah, kenapa saya sampai bilang WAJIB tonton buat para orang tua dkk? Karena pendidikan tentang manajemen emosi itu adalah suatu area yang saya lihat masih belum banyak disadari pentingnya di Indonesia. Yang dikoar-koar adalah calistuuuuuuuuung *ampe monyong bilangnya* melulu.. Nah, kalau anak-anaknya di sekolah nanti misalnya pada suatu ketika jadi malas belajar, tawuran gara-gara hal sepele, ada kejadian bullying, dsb dsb itu.. baru deh kebakaran jenggot memikirkan soal penyebabnya, yang mana bisa saja salah satunya adalah pendidikan manajemen emosi yang terlupakan. Ya, menurut saya, ini warning sign yang udah kelap-kelip di dashboard kita, menuntut untuk ditindaklanjuti. Sebab, pendidikan soal manajemen emosi itu dimulai sejak dini dan berlangsung lamaaa sekali, bukan proses yang menghasilkan dalam waktu cepat melainkan akan menjadi apa ya... akan mengiringi dan menjadi support-system perkembangan anak-anak hingga mereka dewasa. Dewasa pun masih harus berjuang mengendalikan berbagai emosi... apa jadinya kalau sejak anak-anak tidak dimulai?

4. Semua emosi itu adalah anugerah dari Allah SWT buat manusia, untuk membantu otak dan hati dalam menentukan sikap dan tindakan kita dalam hidup ini.
Tentunya semua yang dianugerahkan Allah itu tentunya tidak ada yang sia-sia, seperti yang di akhir film terjawab pertanyaan dari si Joy (karakter emosi bahagia), “Kenapa sih harus ada Sadness (karakter emosi sedih)? Apa sih tugasnya dia? Karena harusnya manusia itu selalu bahagia...? Saya nggak mau Riley (anak perempuan yg menjadi tokoh utama film ini) untuk merasa sedih.” Si Joy bertanya demikian, karena pada awal film, dijelaskan tuh apa tugas dari masing-masing emosi, seperti: Anger (marah) yang berguna untuk menyalurkan agresi dan membela diri, Fear (takut) bertugas untuk melindungi Riley dari bahaya, dan Disgust (jijik) bertugas untuk melindungi Riley dari situasi yang bisa membuat dia dipermalukan atau menjadi sakit. Tapi Joy tidak habis pikir, buat apa ada Sadness, karena hanya membuat Riley sedih... padahal Joy adalah pengendali utama dari geng emosi tsb, karena pada dasarnya Riley kan gadis yang hampir selalu bahagia.. begitu pikirnya. Oleh karena itu, dari awal film, Joy selalu berusaha menjauhkan Sadness dari papan kontrol pikiran Riley di Headquarters (ruang pusat kendali). Pun Sadness dapat “giliran” di papan kontrol, Joy selalu berusaha agar ia cepat-cepat menyelesaikan tugasnya.

5. It’s okay to be (temporarily) sad; it’s not okay to deny your sadness.
Dalam film ini, kekacauan terjadi ketika Joy melarang Sadness menyentuh memory orb (bongkahan peristiwa yang akan masuk ke dalam ingatan Riley, dilambangkan dengan bola-bola memori) milik Riley, karena dia menginginkan memori-memori inti milik Riley berupa memori yang bahagia semuanya. Akibatnya, Joy dan Sadness tersedot masuk ke alam memori si Riley dan jadilah control panel di Headquarters tinggal dikendalikan oleh Anger, Fear, dan Disgust—cara kreatif dari Pixar untuk menggambarkan depresi ringan yang dialami Riley dalam kondisinya saat itu.
Karena Riley tidak menunjukkan kesedihannya, maka dia juga tidak mendapat bantuan dari siapapun mengenai perasaan-perasaan yang dia hadapi, sehingga lama-lama dia menjadi terputus dengan papan kendali perilakunya (yang tidak bisa dikendalikan pula oleh Anger, Fear, maupun Disgust). “Pulau-pulau kepribadian” dari Riley juga mulai hancur satu-per-satu seiring dengan depresi yang dia alami: hancurnya “pulau kekonyolan”, “pulau persabahatan”, “pulau kejujuran”, dan yang paling dramatis (dan bikin mau nangis emak ini) ketika robohnya “Pulau keluarga”.

6. Peran dari Sadness adalah untuk mengirimkan sinyal ke orang lain, bahwa kita butuh bantuan.
Joy akhirnya mengetahui peran sesungguhnya dari Sadness setelah menyadari bahwa memori bisa saja berubah dari yang awalnya sedih menjadi bahagia kembali, setelah kesedihan tersebut dihadapi dan diatasi dengan bantuan dari orang lain. Jadi alih-alih menafikan rasa sedih, malah rasa sedih itu seharusnya  diterima dan dihadapi, supaya bisa merasa bahagia kembali.
Jadi kalau anak menangis karena sedih, kita jangan memarahi mereka karenanya... namanya juga manusia, maka anak berhak merasakan semua jenis emosi, jangan hanya positifnya saja yang diakui tapi juga negatifnya. Tinggal kita pelan-pelan mengajarkan bagaimana cara menyalurkan emosi tsb dengan cara yang dapat diterima, sesuai dengan usia mereka.

7. Sesuatu hal akan diingat apabila berkesan/relevan/menyenangkan.
Pekerja kebersihan dalam alam penyimpanan memori Riley berkata kepada Joy, "If Riley doesn't care about a memory, it fades...". Nah... ada pembersihan bongkah-bongkah memori yang sudah tidak diperlukan atau dipedulikan lagi oleh Riley, disedot pakai vaccum cleaner untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan memori. Kalau sebuah ingatan nggak digunakan kembali di kemudian hari, maka lama-lama ingatan itu akan hilang, seperti pepatah  use it or lose it”. Jadinya kita sebagai orang tua juga bisa merenung, sudahkah kita membuat kenangan yang berkesan buat anak-anak? Kesannya bukan di kita, tapi di anak-anak... dan ini menjadi reminder buat kami ketika akan merencanakan kegiatan/liburan keluarga dan juga buat sebagai bahan obrolan sehari-hari dengan anak-anak. Selain itu, kaitannya dengan belajar adalah, anak-anak akan mengingat hal-hal yang bermanfaat/relevan/menyenangkan menurut mereka. Sudahkah kita membuat proses belajar mereka demikian? *namanya juga emak HS, pasti ujung2nya refleksi ke kegiatan “belajar” keluarga sehari-hari hehehe*

8. Anak-anak memandang dunia dari kacamata anak-anak.
Ini adalah reminder buat kita para orang tua, bahwa bisa saja sesuatu yang menurut orang tua itu nggak masalah, bisa jadi masalah buat anak-anak. Seperti dalam film, kepindahan keluarga Riley ke tempat tinggal baru yang jauh itu sebenarnya membuat Riley merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, takut, dan marah. Akan tetapi, Riley mendapat kesan dari orang tuanya (dan juga didorong oleh Joy) bahwa mereka ingin agar dia bahagia dengan kepindahan tersebut...sehingga dia berusaha memaksakan diri untuk senang dan menutupi perasaan sedihnya. Jadi, sebagai orang tua, jangan lupa kalau cara canak-anak memandang dunia itu bisa jadi berbeda dengan apa yang kita pikirkan... yuk, kita coba untuk lebih sering mengobrol tanpa menghakimi... dan berusaha untuk memahami cara berpikir anak-anak kita :)

9. All feelings are okay, all behavior isn’t.
Orang tua Riley selama durasi film tetap teguh dengan batasan yang tegas untuk perilaku yang tidak sopan atau yang tidak dapat diterima. Mereka menegur perilakunya, bukan perasaannya. Dan ketika Riley belum mau bercerita, mereka juga tidak memaksanya untuk bercerita, namun meyakinkannya kalau mereka akan ada di sana kalau dia sudah mau bercerita pada mereka. Selain itu, mereka juga tidak langsung memarahi Riley ketika dia kembali ke rumah habis seharian dicari-cari oleh mereka... ketika Riley menangis dan bilang kalau dia rindu dengan rumah mereka yang lama, mereka bukannya memarahinya tapi justru mendengarkan dan berusaha mengerti perasaannya. Sudahkah kita bisa seperti itu?

10. Life changes, but family sticks together, no matter what.
Terakhir, kita bisa lihat Riley dan keluarganya beradaptasi dengan kehidupan mereka yang baru. Apapun yang terjadi, mereka sadar bahwa keluarga lah yang utama dan harus menjadi tim yang solid. Keluarga adalah sebuah tim yang saling membantu dan membutuhkan dukungan satu sama lainnya. Kita juga harus menyadari bahwa dinamika keluarga akan terus berkembang seiring dengan perkembangan usia anak-anak (dan kita juga)... jadi harus senantiasa berusaha menjaga agak komunikasi tetap terbuka dan hangat, agar bisa melalui suka dan duka bersama-sama.

Semoga insight-insight di atas bisa memperkaya manfaat dari menonton film ini :)

                                           

Friday, August 07, 2015

Opening doors

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"

Sewaktu kami memutuskan untuk memilih alternatif pendidikan anak-anak berupa homeschool, pada awalnya kami membayangkan kalau kami akan bisa menjalani kegiatan belajar yang lebih santai, sesuai dengan minat anak, tanpa terikat dengan segala hikuk-pikuk pendidikan formal pada umumnya. Lalu... kami dibangunkan dari mimpi yang ideal itu dengan kabar bahwa ada peraturan mendikbud no.129 thn. 2014 mengenai "sekolahrumah" alias homeschool ini. Jegerrr!

Reaksi teman-teman HS terhadap permen tsb sepertinya sangat beragam, berhubung kami tidak terikat komunitas manapun, jadi mau nggak mau harus menentukan sikap dan bergerak mencari  informasi sendiri.

Kami pada dasarnya menyambut baik adanya peraturan ini, krn meneguhkan status anak-anak yang berHS ria. Tapi memang di sisi lain, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga HS, yang bukan tidak mungkin, kurang sejalan dengan visi misi maupun kegiatan keluarga HS yang sangat beragam.

Kalau keluarga kami sendiri... kami memang menginginkan anak-anak untuk kelak memiliki ijazah nasional maupun internasional. Kenapa? Karena kami ingin membuka pintu sebanyak-banyaknya buat anak-anak kami kelak ketika mereka menyusuri perjalanan hidup mereka sendiri. Jangan sampai nantinya mereka terhalang oleh persyaratan administrasi ketika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi.. atau siapa tau mau ambil beasiswa baik dalam/luar negri.. atau apapun yang membutuhkan ijazah resmi... just because we (as their parents) didn't take the necessary steps to ensure they can get it when the time comes.

Jangan salah.. we do not want to "teach to the test"--- justru salah satu alasan kami HS adalah untuk menghidari konsep belajar hanya demi nilai! Bukan lantas ijazah ini jadi satu2nya tujuan dalam HS kami ya... tapi kami lebih memandangnya sebagai tantangan.. bagaimana kita bisa menyelaraskan antara keinginan untuk nantinya mendapatkan ijazah ini dengan semangat untuk terus belajar seumur hidup dan mengejar apa yang diminati.

Okay, selesai urusan paradigma... dengan kaca mata positive thinking, saya lalu mendatangi disdik di tempat tinggal kami. Alhamdulillah diterima dengan baik, lalu saya berdiskusi panjang lebar mengenai implikasi permen ini, serta apa yg menjadi hak dan kewajiban saya sbg orang tua. Nah, sampai saya menulis ini, setahu saya belum ada petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan permen 129 itu. Jadi masih banyak area abu-abu... tapi yg bisa saya pahami dari diskusi pada hari itu adalah (semoga nggak salah):

1. Kita wajib mendaftarkan anak kita yg HS ke disdik setempat, dengan membawa fotokopi identitas diri dari orang tua dan anak, surat pernyataan dari orang tua yg menyatakan akan bertanggung jawab untuk menjalankan pendidikan di rumah, klo si anak sudah di atas 13thn maka dia juga harus bikin surat pernyataan bersedia menjalani pendidikan hs, dan dokumen program sekolahrumah yg sekurang-kurangnya mencantumkan rencana pembelajaran.

Format dan ketentuan semua dokumen itu belum ada, jadi saya buat sederhana namun terkesan resmi. Saat ini masih berkutat di rencana pembelajaran (saya hanya buat rencana untuk tahun ajaran ini saja), jadi belum balik lagi ke disdik buat daftar secara resmi (jadi belum tau juga tanggapan mereka akan seperti apa thd dokumen2 yg saya buat ini). Tunggu tanggal mainnya yaa!

2. Kalau sudah terdaftar, karena juknis belum ada, jadi disdik juga belum ada peraturan yg mengatur hak/kewajiban mereka ke kita, dan sebaliknya. Jadi untuk saat ini sifatnya supaya saling tahu saja dan sebagai awal partnership kita dengan mereka. Nah, waktu itu sempet ada pembicaraan mengenai NISN (nomor induk siswa nasional) buat anak HS yg terdaftar, tapi saya lupa bagaimana dan sepertinya masih belum jelas ketentuannya. Nanti insyaaAllah saya akan tanya lagi pas ke disdik. Logikanya sih klo terdaftar berarti akan dapat NISN atau at least sudah terdaftar dalam sistem.. jadi kalau ada apa-apa sudah ada administrasinya.

3. Kurikulum yg dipakai mengacu kpd kurnas. Plus harus mengajarkan Agama, PPKn dan Bhs Indonesia di luar pelajaran lainnya.
Nah, buat kami yang ingin memakai kurikulum Cambridge, ini jadi tantangan karena tadinya berniat ngebut drilling soal ketika kls 5/6 aja buat ujian paket A, nah jadinya kan gak bisa sesederhana itu. Kesan pertama: wah jadi banyak dong pelajarannya! Tapi kalau mau positive thinking, kita bisa cari cara supaya pelajaran kurnas ini bisa dibuat semenarik mungkin dan diselaraskan dengan kegiatan belajar yg lain (yang sesuai dengan visi misi dan metode yg kita gunakan). Dan dari sepanjang hari, paling yg dipakai untuk belajar materi kurnas itu berapa lama sih.. nggak harus sepanjang hari kan..?
Plus.. pelajaran bahwa in life, there are just some things you just have to do even though you don't like it.. but it doesn't mean that your life will be taken over by it. Pinter-pinternya kita aja mengaturnya. Toh yang penting kontennya aja yg sesuai kurnas.. metode pengajarannya? Terserah kita! (dan nggak perlu dilaporkan, hehehe)

4. Evaluasi dilakukan oleh pendidik (orang tua), lembaga informal/nonformal, dan/atau pemerintah. Nah ini masih agak abu-abu bagi saya, tapi menurut ibu kabid yang berdiskusi dengan saya, jadinya kita melakukan evaluasi secara berkala (semesteran) bekerja sama dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat) setempat. Nah teknis evaluasinya itu tergantung PKBM yg kita gandeng, dan nantinya evaluasi tsb akan dituangkan dalam raport yg dikeluarkan oleh PKBM. 
Nilai-nilai raport itu kalau nggak salah menjadi salah satu syarat nantinya ujian kesetaraan (paket A,B,C) dan menjadi salah satu dokumen pendukung jika nantinya berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal selanjutnya, meskipun ijazah paket belum keluar (sementara bisa pakai surat keterangan lulus ujian, yg juga nantinya diterbitkan oleh PKBM tsb berdasarkan hasil ujian si anak). Ini khusus buat yg sudah mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi. Klo yg belum ya raport buat pegangan aja kalau sewaktu-waktu dibutuhkan hehehe :)

Okay, dengan berbekal poin-poin di atas, saya akhirnya meminta rekomendasi disdik untuk PKBM setempat yang track recordnya sudah terbukti baik. Sebenarnya bisa googling juga sih, tapi pastikan PKBM yg dituju sudah terdaftar dan memiliki NILEM (nomor induk lembaga atau apa gitu ya). Langkah selanjutnya adalah untuk berdiskusi dengan pengelola PKBM, membicarakan teknis partnership kami dengan mereka. Syukur-syukur mereka juga sudah mengetahui soal permen sekolahrumah, jadi akan lebih memudahkan pengaturan partnership ini sesuai dengan ketentuan yg diminta oleh si permen tsb.

Hosh-hosh.. panjang juga ya tulisan ini.. begitu pula perjuangan ini hehehe! Hikmah yang dapat saya ambil adalah melatih keberanian dan mendorong saya untuk asertif dalam mengurus kebutuhan pendidikan anak-anak. Nggak usah nunggu yang lain bergerak, jadilah penggerak kalau memang tujuannya baik, insyaaAllah :)

Semoga sharing pengalaman saya ini bisa bermanfaat :)

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"


Friday, May 22, 2015

Tolong jangan bilang anakku “pintar”….



Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama. Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset.  Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006). Dweck meneliti efek jenis pujian yang diberikan ke anak-anak: satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”) dan kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort) mereka (“You must have worked really hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal secara individual. Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji, anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama.  Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang mudah.
Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar” malah memilih puzzle yang mudah?? 

Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)

Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani selama mengerjakan tes.

Nah, setelah semua mengalami kegagalan, pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar” malah menurun skornya hingga 20%.

Dweck sudah curiga bahwa jenis pujian akan memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya, “penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan, mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah kegagalan.”
Pada wawancara yang dilakukan setelahnya, Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan. Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”. Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.

Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan, dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.

Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar” menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak banget ini.

Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin “dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan, masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan hasil akhirnya.

Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:
a.       Fixed mindset (FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.
b.      Nilai yg bagus akan diatribusikan pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai yg bagus!  Kamu telah berusaha keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”
c.       Nilai yang jelek akan diartikan sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”
d.      FM: “wah, kamu cepet banget menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”
e.      FM mementingkan kecerdasan atau bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).
f.        FM percaya kalau tes mengukur kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan area untuk pertumbuhan.
g.       Guru dengan FM menjadi defensif mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa menyelesaikan masalahnya.
h.      Guru dengan FM memiliki semua jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari jawaban-jawaban tersebut.
i.         Guru dengan FM menurunkan standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya. 

Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya? Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah bekerja/berupaya keras ya untuk….”--- masih lebih praktis bilang “anak pinter”, hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya, terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya. Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari Lego karena “susah”.

Buat saya, kalau ada yang mengatakan anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan “Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang “alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya, menekankan bahwa they are special just the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga, mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita” (terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.  

Kita bisa berusaha dan perlahan, insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

Referensi:
1.       Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.
2.       Bronson, Po. (2007). How Not To Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise. http://nymag.com/news/features/27840/#
3.       Teaching To Promote A Growth Mindset. Center For Research on Girls at Laurel School.