Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar”
itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi
topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan
sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga,
saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama. Lalu, ada apa dengan
label “pintar” itu?
Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan
kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program
sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya
berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset. Kedua kubu tersebut merupakan bahasan
penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam
bukunya yang berjudul Mindset: The New
Psychology of Success (2006). Dweck meneliti efek jenis pujian yang
diberikan ke anak-anak: satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”) dan
kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort)
mereka (“You must have worked really
hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal
secara individual. Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah
sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji,
anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle
yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar
banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah
puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama. Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas
usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka
yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang
mudah.
Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar”
malah memilih puzzle yang mudah??
Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak
karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan
label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan
mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)
Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu
tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang
diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang
sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok
anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang
fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat
terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak
banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya
sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap
kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim
peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani
selama mengerjakan tes.
Nah, setelah semua mengalami kegagalan,
pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada
ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan
skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar”
malah menurun skornya hingga 20%.
Dweck sudah curiga bahwa jenis pujian akan
memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya,
“penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan,
mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan
mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari
tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah
kegagalan.”
Pada wawancara yang dilakukan setelahnya,
Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah
kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan.
Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”.
Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal
tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis
pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas
sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan
pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.
Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah
baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah
sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan,
dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah
menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego
sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah
buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta
ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so
sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah
cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.
Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang
menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali
ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya
jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana
caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan
bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya
kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar”
menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu
dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak
banget ini.
Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya
anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin
“dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan,
masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan
anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari
sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang
membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan
hasil akhirnya.
Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:
a.
Fixed mindset
(FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah
permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke
anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan
kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.
b.
Nilai yg bagus akan diatribusikan
pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai
yg bagus! Kamu telah berusaha
keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”
c.
Nilai yang jelek akan diartikan
sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya
suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi
untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya
kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk
mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan
bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus
berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”
d.
FM: “wah, kamu cepet banget
menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah
buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang
bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”
e.
FM mementingkan kecerdasan atau
bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).
f.
FM percaya kalau tes mengukur
kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan
area untuk pertumbuhan.
g.
Guru dengan FM menjadi defensif
mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya
secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa
menyelesaikan masalahnya.
h.
Guru dengan FM memiliki semua
jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari
jawaban-jawaban tersebut.
i.
Guru dengan FM menurunkan
standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan
standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya.
Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya?
Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang
butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi
dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal
yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke
dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah
bekerja/berupaya keras ya untuk….”--- masih lebih praktis bilang “anak pinter”,
hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata
adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak
boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan
dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti
sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan
mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita
sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya,
terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya
negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya.
Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas
sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek
nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba
gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari
Lego karena “susah”.
Buat saya, kalau ada yang mengatakan
anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus
senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah
Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan
“Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau
belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang
“alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada
kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa
untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang
otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya,
menekankan bahwa they are special just
the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun
menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka
tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi
kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia
sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum
lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga,
mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah
karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku
ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita”
(terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.
Kita bisa berusaha dan perlahan,
insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada
mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa
anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak
sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga
artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.
Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com
Referensi:
1.
Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.
3.
Teaching To Promote A Growth
Mindset. Center For Research on Girls at Laurel School.