Nah, di rumah, saya memang berusaha menerapkan prinsip komunikasi & penerimaan emosi yang sering dituliskan oleh blog The Twin Coach dan Janet Lansbury - Elevating Childcare. I’m not perfectly consistent with it, nor am I really good at parenting, but having a 4 yr old and a 1 yr old in the house, I try my best to keep the peace in our house while accomodating both kids’ feelings. Segera setelah Little Bug teriak tanda marah, saya mengingatkan si Hubs (yg sudah mau memarahi Little Bug karena over-reacting thd tingkah laku adiknya) bahwa it’s totally okay for Little Bug to be angry with his baby sister and we should just let him vent out his anger in an acceptable way (no physical attack on his sister). Namanya juga anak-anak, mereka kan punya perasaan juga dan berhak dihargai, meskipun menurut kita itu over-reacting yah... gigit lidah aja dah! Kata kuncinya: tunggu. Wait and see what happens.
So, Little Bug saat itu langsung teriak “aku nggak mau sama adik!” lalu keluar dari kamar tidur (TKP nih) dan langsung teriak kenceng2 sambil lari ke teras belakang. Di sana dia ngeluarin uneg-unegnya (dalam nada keras) sambil jalan bolak-balik di sekeliling sand box. Kayaknya sih sempet main pasir dulu sebentar, saya nggak nemenin, saya waktu itu sedang menghibur si baby bird yang nangis juga karena ditinggal kakaknya, hehehe...
Sekitar 5 menit kemudian, suasana tenang kembali, saya lalu meninggalkan baby bird yang lagi asyik main sama si Hubs di kamar dan keluar untuk ngecek keadaan Little Bug. Ternyata, dia sudah mengambil kertas & pensil dan senang menulis sesuatu di ruang kerja saya. Ketika saya tanya, “Little Bug lagi apa?”, dia jawab “ini lagi nulis surat buat adik, Mama bisa tolong bantuin nggak nulisnya?”
Deg. Saya langsung terenyuh. Anak 4 thn 4 bulan ini memilih untuk menuangkan rasa marahnya dalam sebuah surat untuk adiknya. Isinya seperti ini: “Ade lain kali jangan rusak barang Mas.” Dia meminta tolong kepada saya untuk membantunya mengeja kata “jangan” dan “barang”. Dia juga bingung karena dia kira kertasnya nggak cukup tempatnya buat dia tulis kata2 “jangan” (yg saat itu aku mengusulkan ‘gimana kalau kertasnya dibalik, kan masih ada tempat?’ dan little bug langsung meng-iya-kan sambil sibuk nulis lagi). Ketikadia sudah selesai menulis, saya pelan-pelan tanya:
Saya: “Little Bug masih marah sama adik?”
LB: “masih.”
S: “Little Bug masih sayang sama adik nggak?”
LB: “masih”.
S: “mau nggak nulis ‘I love you’ buat adik di surat ini?”
LB: “mau, tapi mama ya yg nulis, aku nggak bisa nulisnya”
Dan saya pun menuliskan kata2 “I love you, adik” pada bagian akhir surat itu dan memberikan sedikit heart-2-heart, bahwa meskipun kita marah sm seseorang, nggak berarti kalau kita lantas berhenti sayang dgn orang tsb, sama halnya kalau saya marah dgn Little Bug, bukan berarti bahwa saya berhenti sayang dengan dia. Dan sepertinya Little Bug sudah bisa mengerti hal tersebut, karena dia masih bersedia menuliskan “I love you Adik” di akhir surat “marah”nya, hehehe
Setelah itu, Little Bug meminta saya mengeposkan surat itu untuk Baby Bird dan dia juga ngintil untuk membacakan surat itu kepada Baby Bird dan si Hubs yg lagi nemenin Baby Bird main di kamar. And not long after that, he was back laughing and playing with his little sister again, as if nothing happened.
Bagi saya, ini momen yang sangat berharga sekali! Little Bug sudah mulai bisa mengenali emosi yang dia rasakan dan menyalurkannya dengan cara yang lebih baik. I couldn’t be more proud and happy to see him express his anger through words.. and I let him know that, too! Walaupun setelah itu (dan sampai sekarang) masih ada episode konflik antar kakak-adik, tapi yg penting Little Bug sudah mulai bisa menyalurkan emosi marahnya dengan cara yang dia bisa dan dengan cara yg menurut saya efektif untuk memberikan label yang jelas tentang apa yang baru saja ia rasakan. I just have to remember (and keep practising) to wait and see what happens when they fight and be as calm as possible in facilitating them to solve their own problems by themselves.
Somewhere in that simple piece of paper, written from bottom to top, from right to left, is my son’s feelings.. his overwhelming anger that he chose to pour on a piece of paper.. while in the end realizing that he still loves his baby sister no matter how angry he is at her (at that time).
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.