Saturday, May 31, 2014

Free Printable pertama kami

Setelah sekian lama menggunakan free printable dari blog & website lain, kini saatnya kami mulai membuat free printable sendiri untuk dibagikan buat teman-teman semua. Tujuannya hanya 1: berbagi manfaat buat sesama.  Jadi, doakan saja saya bisa mengatur waktu dengan lebih terampil lagi, sehingga Allah mudahkan saya untuk buat printable-printable lainnya, amiiin....

Anyways, inspirasi di balik printable ini adalah printable gratis "Kids Ramadhan Journal" yang diberikan oleh blog A Muslim Homeschool. Nah, berhubung Little Bug baru 5 tahun dan juga belum banyak menggunakan Bhs.Inggris dalam kegiatan belajarnya, jadi sepertinya dia nggak akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari jurnal tersebut. Jadiiii setelah sekian tahun nggak menggunakan program Word selain buat menulis blog, kembali saya mengasah ingatan dan keterampilan seperti jaman kuliah duluuu hehehe :D

Alhamdulillah, jadilah Jurnal Ramadhan sederhana yang inshaaAllah bisa digunakan anak-anak dari usia 4 tahun - SD. Isinya banyak mewarnai--- dari cover depan hingga halaman paling akhir, yang terdapat tempat khusus buat menggambar (atau bisa juga tempel foto). Nah, begini cara penggunaannya:

  • Halaman cover: warnai cover sesuka anak dan tuliskan namanya di bagian bawah. 
  • Halaman pembuka: ada space buat menempel foto anak di awal Ramadhan atau bisa juga menggambar potret diri sendiri, atau menggambar apapun yang anak inginkan yang berhubungan dengan bulan Ramadhan.
  • Halaman Target Ramadhan: nah pada bagian ini anak-anak perlu dibantu untuk berdiskusi menentukan target apa yang ingin mereka capai selama bulan Ramadhan tahun ini. Target tidak perlu muluk-muluk... yang penting sederhana, konkrit, dan sesuai dengan kemampuan anak. Ada 5 balon untuk 5 buah bidang target: sholat, Al-Qur'an, puasa, sedekah, dan lain-lain. Ada baiknya orang tua juga berdiskusi dengan anak mengenai bagaimana mencapai target tersebut,, jadi anak juga nggak asal-asalan membuat target hehehe. 
  • Halaman harian: print 1 halaman untuk setiap hari di bulan Ramadhan, tulis hari ke-berapa dan di bawahnya tulis tanggal masehi-nya. Selanjutnya, anak tinggal mewarnai bagian-bagian pada halaman ini sesuai dengan kegiatannya sehari-hari. Pada kotak "Perbuatan Baikku Hari Ini", anak diajak untuk melakukan sedikitnya 1 perbuatan baik untuk orang lain, sederhana saja sudah cukup. Misalnya, membantu Mama membereskan meja makan setelah sahur, mengantarkan makanan berbuka untuk tetangga, dsb. Pada kotak "Keberhasilanku Hari Ini", anak disemangati untuk terus mencapai keberhasilan baru. Misalnya, berhasil menghafal 1 ayat Al Qur'an, berhasil belajar 2 huruf hijaiyah, berhasil naik sepeda tanpa jatuh, dsb. Jadi, berpuasa di bulan Ramadhan bukan alasan untuk bermalas-malasan.. justru harus memacu diri untuk lebih baik lagi dimulai dari bulan yang penuh rahmat ini. Dan terakhir, kotak "Ayat Al Qur'an atau Hadits hari ini" adalah ajakan buat orang tua dan anak untuk sama-sama memilih 1 ayat atau 1 hadits untuk direnungkan setiap hari. Bisa saja dihafalkan ataupun tidak, yang penting ayat atau hadits tersebut didiskusikan maknanya dan aplikasi atau hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Ayat atau hadits yang dipilih bebas, nggak harus berkaitan dengan bulan Ramadhan juga nggak apa-apa.. yang penting adalah interaksi antara kita dengan Al Qur'an dan Hadits, sehingga menjadikan mereka bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Semoga kegiatan menelaah Al Qur'an dan Hadits ini bisa tumbuh menjadi kebiasaan sehari-hari bahkan setelah bulan Ramadhan usai :)
  • Halaman penutup: ada space buat menempel foto anak saat Idul Fitri atau bisa juga menggambar potret diri sendiri/keluarga, atau menggambar apapun yang anak inginkan yang berhubungan dengan momen Idul Fitri. Di bawahnya ada kotak tempat renungan saat Ramadhan usai, silahkan didiskusikan kira-kira apa saja kesan dan pemikiran saat berakhirnya Ramadhan.. boleh juga diisi doa dan harapan hingga inshaaAllah Ramadhan tahun berikutnya.
Nah, jurnal ini tidak dimaksudkan sebagai alat evaluasi yang memberatkan anak. Intinya ada catatan khusus untuk mengenang Ramadhan tahun ini dan sebagai sarana mendekatkan anak dengan orang tua dalam sebuah kegiatan bersama saat bulan Ramadhan. Gunakanlah kesempatan ini untuk menyemangati anak dalam berkegiatan dan hargailah perbuatan baiknya dan keberhasilannya walau sesederhana apapun.

Jadi, semoga jurnal ini bermanfaat buat semua... dan silahkan di-share link ke halaman blog ini jika ada yang mau download. Karena GRATIS, mohon jangan sampai ada yang menyalahgunakan ya... Semoga Allah terima niat saya untuk berbagi ilmu yang bermanfaat, amiin...

Untuk men-share file ini dengan orang lain, mohon di-share link-nya via blog Our Learning Family yaa... thank you!
















Saturday, May 24, 2014

Pieces of the “Why Homeschool?” Puzzle



 Semua bermula ketika ada ajakan gathering teman-teman SMA ke Pulau Pramuka. Little Bug sangat, sangat, sangat (!!!) antusias dengan rencana liburan singkat ke laut itu! Memang, dari dulu dia sudah ada minat yang besar terhadap semua hal yang berbau laut: hiu, paus, ikan-ikan, dan pantai. Mungkin karena si Hubs juga “doyan” laut, jadi modeling-nya berhasil “ditransfer” ke Little Bug hehehe :D Anyways, demi memaksimalkan pengalaman liburan itu sebagai pembelajaran (ini pemikiran emak homeschool banget deh), maka awal bulan ini kami mulai tema bulanan tentang laut. Saya tiba-tiba teringat kalau ibuku sepulang haji memberikan buku tentang scientific wonders in Oceans & Animals yang ditinjau dari isi (berbagai ayat) Al-Qur’an yang relevan (She’s the best mom, right? Alhamdulillah!). Selama ini buku itu duduk manis di musholla rumah (karena masih panjang antrian buku lainnya yang ingin saya baca), tapi baru kemarin-kemarin ini saya mulai mencari-cari mana isi yang bisa saya share ke Little Bug, yang kira-kira akan bisa dia bayangkan dan pahami (remember, he’s still 5 yo). Nah, sejak saat itu malah saya-nya yang keterusan (baca). Dan alhamdulillah...

Saya jadi sadar bahwa selama ini, saya belum benar-benar berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sebagai seseorang yang beruntung dilahirkan dalam keadaan otomatis beragama Islam, saya selama ini nggak melalui proses “ilmiah” dalam mencari tahu tentang daya tarik Islam itu sendiri. Beda dengan para mualaf yang ada proses “aha! Moment”-nya alias diberikan hidayah dari Allah SWT, yang dari cerita-cerita yang saya baca, banyak dari mereka yang masuk Islam diawali karena baca ayat Al-Qur’an yang membuka pikiran dan hati mereka.  Dan pagi ini, saya baru menyadari.... mungkin Allah dengan cara-Nya “menyuruh” saya homeschooling salah satunya supaya bisa lebih dekat dengan-Nya dan melibatkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan saya pribadi maupun (inshaaAllah) dalam kehidupan anak-anak.... masyaaAllah!

Kok bisa saya berpikir ke arah situ? Well, seperti yg pernah saya ceritakan di awal, keputusan untuk homeschooling waktu itu diambil setelah proses istikhoroh dan pertimbangan yang cukup lama. Keputusan yang berat karena waktu itu Little Bug sudah dalam proses masuk ke TK setelah 2 tahun di waiting list—TK yang ideal sesuai tujuan pendidikan keluarga kami saat itu. Tapi entah kenapa muncul keraguan dari niat yang tadinya sudah mantep... yang setelah “berproses” akhirnya berakhir dengan permulaan baru untuk mencoba homeschooling. I didn’t know how I was going to do it or wether or not it was going to work for our family, but it felt like the right thing to do. Nggak kalah penting sudah kulonuwun sama yang Maha Mengetahui.

Nah, pagi ini, saya berpikir.... kalau saja...

  • Kami dulu nggak harus pulang dari Jepang, anak-anak pasti akan saya masukkan ke sekolah Jepang.. dan saya mungkin nggak akan berpikir untuk memperkaya kehidupan mereka dengan Al-Qur’an—mungkin hanya sebatas ngaji dan hafalan surat pendek saja.

  • Kami tetap memasukkan Little Bug ke sekolah ideal itu, saya tentunya nggak akan pusing mikir untuk mengajarkannya agama, karena ada mindset bahwa sudah “all-in” dengan paket pembelajaran di sekolah.

Kalau saja saya nggak homeschool, saya nggak akan berusaha mencari sumber-sumber lainnya untuk mengajarkan tentang Islam ke anak-anak. Karena saya pengetahuannya minim, ditambah pelajaran agama waktu sekolah duluuu yang sudah “banyak lupa” , saya (awalnya) terpaksa untuk belajar lagi... for the kids sake... but it’s actually for my own sake. Kemarin waktu nonton film kartun bareng Little Bug tentang “sifat-sifat Allah”, saya ikutan belajar lagi.. waktu nyari ayat Al-Qur’an tentang lapisan laut, saya jadi berdoa semoga anak-anak bisa melihat kalau Al-Qur’an itu bukan sekedar bahan hafalan atau kewajiban baca semata, tapi benar-benar the most important book in our lives!

Memang, ada opsi untuk memasukkan anak-anak ke TPA buat belajar ngaji, atau madrasah buat belajar agama, panggil guru ngaji ke rumah, masuk ke rumah hafidz, dsb. Ya, semuanya inshaaAllah ada ahli yg bisa bantu. Tapi karena proses belajar di rumah yang mulai terasa hambar oleh ilmu thok (saja—dalam bhs.jawa), maka alhamdulillah hidayah (menurut opini awam saya) datang dalam bentuk kebutuhan untuk membuka Al-Qur’an dan mempelajari mukjizat ilmiahnya. Setidaknya, itu sebuah permulaan bagi saya.. bagi homeschooling kami. Semogaaaa kelak ada bagian (atau keseluruhan) isi Al-Qur'an yang mereka bisa ingat.. atau siapa tahu mereka kelak bisa mengungkap lebih banyak ilmu Allah yang sudah ada di dalam Al-Qur'an. But for the main part, I'll be happy if at least they want to *enthusiastically* open the Al-Qur'an daily plus read and reflect about the meaning.

Salah satu keuntungan homeschooling adalah penyesuaian tujuan homeschooling atau pergeseran basis kegiatan sehari-hari bisa dilakukan kapan saja, sesuai dengan perkembangan keluarga—dalam hal ini, perkembangan saya pribadi dalam hubungan saya dengan Allah SWT. Sepertinya ibuku dulu pernah mendoakan supaya saya bisa lebih banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an... saya nggak begitu ngeh waktu itu, tapi mungkin ini adalah jawaban dari doanya, wallahualam. Saya jadi menyadari, mungkin inilah (sebagian) alasan Allah waktu itu membuat saya ragu-ragu untuk memasukkan Little Bug ke sekolah formal itu. Mungkin Allah nyuruh saya untuk belajar lagi... and what better way to do it then to learn with my kids? MasyaaAllah!

Jadi, saya hanya ingin share cerita ini sebagai sharing pengalaman saja, bukan untuk pamer apalagi mengintimidasi. Semua keluarga punya alasan dan tujuan masing-masing. Dan nggak harus homeschool juga untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT--this is just my own circumstances. Barangkali saja ini bisa membantu memberikan insight buat siapapun di luar sana yang lagi “galau” tentang homeschooling. Ya, tidak semua keluarga akan cocok dengan homeschooling, dan nggak semua akan memiliki tujuan yang sama atau menggunakan metode yang sama. But if it feels right, then trust Allah.. and pray... karena Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk hambaNya.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah*. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27).

*Ilmu-Nya dan hikmah-Nya, artinya semua itu tidak cukup untuk menuliskan kalimat Allah.


Tuesday, May 06, 2014

Pendidikan Keterampilan Pengelolaan Emosi yang Terabaikan



“Fish swim, birds fly and people feel.”
– Haim Ginott, child pyschologist, author of Between Parent and Child.

Akhir-akhir ini, sepertinya saya banyak membaca berita tentang kekerasan pada anak. Lebih tragisnya lagi, beberapa dilakukan oleh anak yang lebih besar/tua kepada anak yang lebih kecil/muda, pada usia yang terbilang belum dewasa.  Sebagai seorang ibu, saya nggak kebayang bagaimana perasaan ibu dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Kekerasan yang seharusnya nggak perlu terjadi.  Saya merasa harus menulis ini, walaupun saya bukan seorang pakar pendidikan anak atau seorang psikolog. Saya menulis ini sebagai seorang ibu yang nggak pernah berhenti belajar (dan membaca) dan memperbaiki diri, terutama dalam keseharian saya dengan anak-anak. Ya, mereka memang masih kecil, tapi proses pendidikan mengenai emosi dan cara menyalurkannya sudah berlangsung sejak mereka bisa menangis.

Saya termasuk seorang mama yang pada awalnya merasa tidak nyaman mendengar anak-anak menangis dan rewel. Tapi setelah membaca dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip positive discipline/peaceful parenting, saya belajar untuk menerima semua emosi anak, termasuk yang negatif. Ini tidak mudah untuk dilakukan, bahkan butuh waktu lama... termasuk saya, masih terus berlatih sejak 3 tahun lalu ketika Little Bug mulai tantrum-mania hingga sekarang menghadapi duo bocah yang sudah mulai berantem untuk 1001 alasan.

Siapa sih yang tega mendengar anak menangis meraung-raung, tantrum selama lebih dari 30 menit? Boro-boro 30 menit, didikan dan harapan masyarakat kita pada umumnya adalah anak nggak boleh menangis. Rengek dikit sudah di-shush-kan atau dituruti kemauannnya. Apalagi menangis karena alasan yang tampak sepele, biasanya akan ditanggapi dengan kata-kata “Gitu aja kok nangis? Kamu kan udah besar! Nggak baik ah nangis! Cowok nggak boleh nangis! Nggak boleh cengeng!” Padahal, yang perlu ditanggapi bukanlah tangisan itu semata melainkan perasaan yang ada di balik tangisan atau rengekan itu! Karena di dalam dunia anak-anak, nggak ada perasaan yang sepele. “When it comes to young children, feelings are their world” (Shumaker, 2012). Perasaan yang mendorong terjadinya rengekan, tangisan, pukulan, tendangan, atau keluarnya teriakan keras itu.

In reality, life isn’t all sunshine and rainbows. Nggak melulu senang, ada kala sedih dan kesal. Terkadang kita nggak mendapat apa yang kita inginkan, nggak semua rencana berjalan sesuai rencana, dan berbagai hal yang membuat kita merasa sedih, kecewa, takut, marah, atau campur aduk semuanya. Begitu pula dengan anak-anak--- mereka bukan dewasa mini, mereka adalah anak-anak yang perlu diajarkan keterampilan untuk menghadapi semua emosi negatif yang timbul di dalam diri mereka. Itulah tugas penting kita sebagai orang tua, pengasuh, dan guru. Dan untuk mengajarkan keterampilan menyalurkan perasaan ini juga butuh waktu yang nggak sedikit, nggak secepat mengajarkan calistung. Proses yang panjang dan dimulai sejak dini, dengan kita sebagai contoh teladan. Nah lho! Kapan terakhir kali kita marah tanpa meluap-luap ke anak? Apakah kita sendiri sudah bisa mengungkapkan emosi negatif dengan tepat?

All feelings are OK. All behavior isn’t.” (Shumaker, 2012). Ketika anak merasakan emosi negatif, pertama kita harus membantu anak mengidentifikasi dan me-label emosi yang dirasakan. Dengan anak yang paling kecil, hal ini bisa menjadi saat yang tepat untuk mengajarkan berbagai label emosi ketika si anak mengalaminya, misal dengan bilang, “Ade marah karena nggak dibelikan mainan... Ade sedih karena Eyang harus pulang... dsb” . Anak yang lebih besar juga bisa dibantu untuk mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata.

Kedua, sebagai orang tua/pengasuh/guru, kita harus menunjukkan ke anak bahwa kita menerima (accept) dan menghargai (value) bahwa anak kita sedang merasa demikian. It’s OK not to be happy all the time (Shumaker, 2012). Kita harus memberikan waktu untuk anak untuk merasakan sedih ketika mereka sedih, marah ketika marah, dsb. Dan kita harus mendukungnya di kala sedang down, bahwa perasaan ini akan datang dan pergi, tinggal bagaimana kita akan menghadapinya. Anak akan merasa bahwa dia dihargai dan didengarkan, bahwa perasaannya nggak disepelekan, dan kita menjadi sumber yang dipercaya untuk bercerita tentang permasalahan yang sedang dihadapi.

Ketiga, kita dapat menunjukkan perilaku yang dapat diterima untuk menyalurkan perasaan tersebut sekaligus menunjukkan batasan perilaku apa yang tidak dibolehkan. Jadi, anak bisa mengekspresikan emosi tanpa menyakiti diri sendiri, orang lain atau merusak benda lain.Misalnya ketika anak merasa marah dan ingin memukul, arahkan pada bantal atau kasur, bukan pada orang, sambil berkata “Ade pukul bantal aja ya, bukan pukul Mama” atau “Kakak kalau mau teriak bisa ke dalam bantal atau di kamar dengan pintu tertutup ya, supaya nggak bikin sakit telinga orang lain”. Atau misalnya anak tantrum, biarkan dia tantrum di area yang aman (misalnya di kamar atau area yang sepi), yang dia tidak dapat melukai dirinya sendiri ataupun orang/benda lain di sekitarnya. Kalau mau menangis, dibiarkan menangis, bahkan untuk anak laki-laki, karena menangis adalah bagian dari meluapkan emosi. Kuncinya adalah membiarkan anak itu meluapkan emosi terlebih dahulu supaya merasa lega. Baru setelah tenang bisa diajak diskusi dan diajak mencari solusi bersama.

Untuk ke depannya atau pencegahannya, anak bisa diajak membuat daftar hal-hal yg dapat dia lakukan untuk kembali tenang ketika mengalami emosi negatif. Kami membuat sebuah area bernama “pojokan tenang” di rumah yang ada papan dengan tempelan list ide tersebut sebagai pengingat ketika sedang marah. Little Bug juga menempelkan gambar-gambar yang membuat dia senang, seperti gambar Lego kesukaannya, hahaha!

Kenapa penting sekali untuk menerima seluruh emosi anak (yg positif dan negatif) dan mengajarkan cara menyalurkan yg bisa diterima? Karena perasaan negatif tersebut tidak akan hilang begitu saja: dengan dipendam, diabaikan, atau disepelekan lama-lama malah bisa bisa meluap tak terkendali, hingga takutnya menyakiti diri sendiri dan/atau orang lain. Penyebab yang tampak sepele bisa memicu keluarnya luapan emosi yang sudah lama terpendam. Jatuhnya gorengan senilai Rp1000 bisa memicu pemukulan yang mengakibatkan kematian, astagfirullah! :( 

Sebagai seorang mama, menurut saya pembelajaran keterampilan emosi ini yang paling berat, sulit, dan lama. Nggak ada jalan pintas, kita harus menjalani prosesnya. Yang paling penting, kita tidak boleh tutup mata terhadap aspek perkembangan sosioemosional ini, apalagi dibutakan oleh prestasi akademis yang mungkin menutupi ketimpangan dalam keterampilan pengelolaan emosi.  Dengan tiap anak pasti cara dan kiat coping emosi berbeda-beda, tapi tujuannya sama: agar anak-anak bisa memiliki keterampilan untuk menghadapi keseluruhan ragam emosi yang akan dialaminya dalam hidup.  Dengan membantu anak-anak menghadapi emosi mereka, maka kita akan membantu anak-anak untuk lebih terampil mengendalikan perilaku mereka sendiri, bahkan ketika kita tidak mengawasi mereka. Tentunya dengan tidak mengesampingkan aspek pendidikan keagamaan, pendidikan keterampilan emosi adalah bekal yang akan awet seumur hidup mereka, apapun yang mereka hadapi kelak dalam hidup. 

Bacaan referensi:
Shumaker, Heather. 2012. It's OK NOT to Share and Other Renegade Rules for Raising Competent and Compassionate Kids. USA: Penguin Group
Markam, DR. Laura. 2012. Peaceful Parent, Happy Kids. USA: Penguin Group.
website: Janet Lansbury, Aha!Parenting.com