Waktu saya dulu memutuskan untuk berhenti bekerja setelah
Little Bug lahir, si Hubs bertanya kepada saya: “Nggak apa-apa tuh kamu
berhenti bekerja? Ijazahnya nggak sayang? Nanti kalau kamu mau lanjut sekolah
lagi juga nggak apa-apa kok...” Dan saya dengan (se)tenang (mungkin) menjawab “insyaaAllah
nggak apa-apa.” Tetap pada pendirian saya. Pun ada tawaran pekerjaan sampingan
nantinya, yang saya terima haruslah yang bisa dikerjakan dari rumah, part-time,
atau sifatnya insidentil saja. Sekolah lagi? Hmm... untuk saat ini, menjadi
seorang ibu dan full-time home manager saja adalah sekolah lanjutan bagi saya, dengan
ujiannya yang tak menentu materinya, praktek langsung setiap saat, dan tak
pernah berakhir hingga akhir hayat.
Oh ya, ijazah. Bagi saya, ijazah adalah tanda kesetaraan.
Bahwa kita telah bekerja keras dan jujur untuk menyelesaikan sebuah bagian/tingkat
pendidikan formal tertentu, dengan pola pikir yang dibentuk sebagai hasil dari ilmu
yang didapat. Ya, ijazah S1 saya harusnya mencerminkan bahwa saya memiliki pola
pikir dan attitude yang mencerminkan
seseorang yang telah lulus dari universitas. Jadi kalau dikomentarin “sayang
amat ijazahnya nganggur karena
ujung-ujungnya di rumah saja”—saya amat sangat tidak setuju. Kenapa? Karena
pola pikir dan attitude seharusnya nggak
akan pernah “nganggur” ketika kita meletakkan ijazah itu di rumah saja.
Keinginan untuk belajar ilmu dan informasi terkini tetap bisa berlangsung dari
rumah, apalagi dengan adanya internet yang memudahkan belajar di mana saja dan
kapan saja dengan siapa saja yang bersedia berbagi ilmunya, dari yang berbayar
maupun yang free. Belum lagi banyaknya seminar, workshop, atau training
insidentil yang bisa diikuti. Belajar maupun menebar manfaat tidak harus
berhenti di persoalan ijazah ataupun status sebagai ibu rumah tangga.
Kesadaran bahwa menjadi orang tua itu butuh ilmu parenting
yang dipadukan se-harmonis mungkin dengan praktek di lapangan dan disesuaikan dengan sifat dan keunikan tiap anak
plus kondisi keluarga, itu juga merupakan pengejawantahan dari pola pikir yang
dilambangkan oleh si ijazah tadi. Hanya nggak pake apresiasi resmi dari pihak
luar. Nggak ada jabatan resmi atau gelar lanjutan buat pembelajaran seumur
hidup ini. Oh ada deng gelarnya, saya menyebutnya “M.om” atau “M.ama”, ujiannya
nanti di akhirat, langsung sama Allah. Well, that goes for everybody, not just
for us stay-at-home-moms.
But anyways, intinya jangan anggap pendidikan itu hanya demi
ijazah, dan ijazah itu hanya demi pekerjaan (di kantoran). Kalau begitu, then
we’d be stuck at square one: “ijazah nganggur kalau ujung-ujungnya hanya jadi ibu rumah tangga”. Menjadi ibu rumah tangga itu adalah sebuah
pilihan pekerjaan, dan nggak semua orang beruntung untuk menjadikannya sebagai
pekerjaan yang utama atau satu-satunya. Dan pilihan ini juga bukan solusi untuk
ongkang-ongkang kaki menikmati uang suami. Being a stay-at-home-mom is HARD
WORK. It’s work that never ends—or as I prefer to look at it, a blessing that never ends. A blessing because you can
make this decision and you can adjust your life to it however you need to—and you
will find ways to adjust even though
it might not be an easy task to do.
So, don’t be afraid of that one piece of paper. Cara
menghargai ijazah adalah dengan mencerminkan pola pikir, sikap, dan integritas
yang sesuai dengan si ijazah tadi. Sekolah lagi, monggo. Bekerja formal,
silahkan. Menebar manfaat dari rumah, ya sama baiknya. Dan yang paling penting: ingatlah kalau
rezeki dari Allah, bukan dari ijazah :) Ijazah can open up opportunities, but it shouldn't be an obstacle to create them. Jum'at barokah buat semuanya! :)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.