Memasuki sekitar 1,5 tahun sejak
kami memutuskan untuk ber-homeschool-ria, alhamdulillah sedikit demi sedikit
ada hikmah untuk terus memperbaiki kegiatan keseharian kami. Salah satu yang
utama adalah untuk benar-benar memaknai
meaningful
learning buat anak-anak. Pada awal-awal hs, saya masih
public-school-minded dan punya bayangan kalau nanti di rumah kita
akan bahas tema-tema tertentu setiap bulan, yang saya berusaha tentukan
sebelumnya (dengan sebisa mungkin memikirkan apa yg akan dia sukai). Tapi pada
prakteknya di lapangan, with our kids,
it
just doesn’t work that way dan terus terang, saya juga time-managementnya
belum sehebat itu--- nyiapin tema-tema per bulan dengan segala tetek bengeknya.
Yes, I don’t get all things done, segini masih dibantu part-time dengan ART.
Who says homeschool moms have it all under control? Nope, not me (maybe someone
else, but not me, hahaha). Hopefully one day, but now I’m just doing my best
(and that’s what’s important).
Alhamdulillah, Little Bug punya rasa ingin
tahu yang besar dan sering berganti-ganti. Walaupun dia anaknya termasuk nurut
dan nggak masalah kalau diajak berkegiatan atau belajar tentang suatu tema
tertentu, tapiiiii..... lama-lama terlihat bedanya kalau tema itu datangnya
dari saya dengan kalau tema adalah permintaan dia sendiri. Keduanya sama-sama
dilakukan, tapi semangat dan fokusnya lebih tahan lama yang kalau dia sendiri
yang minta/menginisiasi kegiatan atau ide atau diskusi atau apalah itu—walaupun,
ya masih sering berganti-ganti dan loncat dari satu ke yang lain dalam waktu
yang singkat (seperti kutu loncat hehehe). Nevertheless, I think this is a
process (emaknya belajar sabar dan asertif dan kreatif dan -tif- tif yg
lainnya) ... lama-lama insyaaAllah akan bisa lebih lama dan mendalam fokusnya sesuai
umur yang bertambah (according to theory).
You might think, well this is
obvious, right? Child-led activities are more engaging? Probably, but definitely
easier said than done, especially with the level of freedom and uncertainty of results in homeschool.
The process of somewhat loosening your
control over their learning process feels scary—at least, that’s how I
feel. Padahal, I’m a believer of kids as natural learners.. and of Allah Yang
Maha Luas Ilmu-Nya as the guardian of my kids’ learning. Tapiiii tetep aja
rasanya hmm deg deg syur gitu.. (i’m sorry, i just don’t want to use the word
“galau”). Mungkin aja, mungkin lho ya... karena kita semasa sekolah dulu
terbiasa diatur belajarnya, teruuus sampai lulus SMA. Makanya saya nggak sabar
lulus SMA karena ingin nentuin mau belajar apa setelah itu, something that I
was really interested in and that control over my educational choice felt good
(err, meskipun untuk diterima masuk di perguruan tinggi jurusan ttt juga ada
test-nya, but the choosing itself was liberating). I’m not saying that I didn’t like school or
didn’t do well in school (alhamdulillah), but being a parent who chooses to
homeschool (resulting in the freedom to manage your child’s education) and
trying to make educating your kids actually work
(without you losing your sanity and sending them to public school) is
seriously easier thought than done. Enter
all the “what if....?” questions that arise from fears:
·
what if my child isn’t “learning” anything?
·
What if my child falls behind from others his
own age?
·
What if my child doesn’t know what he should
know at his age?
·
What if i’m wasting my child’s time at home?
·
What if he’s better off at public school?
·
What if I made the wrong decision? --> sodara-sodara, ini
“gong”-nya!
Yup, put it out there, all those
fears and worries that a homeschool mom might have (at least, I do). Tapi buat
saya, adalah tanggung jawab dan konsekuensi saya sepenuhnya ketika sudah
membuat keputusan untuk homeschool ini: saya nggak boleh “galau”. Yes, I do
have worries and fears, but I will choose
to use them as a driving force to
get me through this process dengan pemikiran yang positif dan terbuka untuk
perbaikan, dengan sumber kekuatan utama dari: doa dan usaha. I don’t want my kids to see their mom
confused and not rock-solid with this choice. I have fears/worries, but I
want to teach them that those fears/worries can be used to drive you to do better
and to evaluate and make changes as necessary, bukan jadi alasan buat mundur
teratur. (See? This is me self-talking my way throughout my worries,
hahaha)
I’ve found out that this big
homeschool thing is a learning process
together with your kids... gimana
bersama-sama bernegosiasi untuk merencanakan kegiatan dan menyeimbangkan antara
batasan input dari orang tua dan input dari anak. Kata kuncinya adalah seimbang: child-led interests and
parent-support. Kalau dengan Little Bug, saya idealnya punya target
tujuan-tujuan tertentu tentang kemampuan yang saya ingin dia kuasai...
materinya, sebisa mungkin berkaitan dengan hal yang sedang menjadi minat Little
Bug. So, I work around his interests and try to get my goals done via
activities that are related to his interests at that time.What good is a cool
craft idea from Pinterest if your kids just aren’t interested? (Mungkin emaknya
yg pingin hehehe ;p) Jadi bekerjanya lebih baik dari minat anak dulu baru nyari
kegiatan yg bisa dilakukan bersama-sama. Supaya emak gak gigit jari dan
ngelanjutin craft sendiri sampai selesai, hahaha :D
Untuk aktivitas yg berasal dari saya
(I have goals too, biasanya berkaitan dgn public school standards that I want
to achieve ataupun tujuan2 HS keluarga kami secara pribadi), the one question I ask
is:
Will their learning be meaningful?
Which brings me to my second point,
how I try to make learning meaningful
for them. I try to let Little Bug know why he has to learn something—I give
him the “big picture” to show him why. Untuk saat ini karena masih TK, jadi blm
ada patokan mata pelajaran tertentu seperti nantinya di SD dst. Jadi saya
kembalikan lagi ke perencanaan tujuan hs keluarga kami. Misalnya dalam hal
belajar ngaji. Little Bug kadang males-malesan belajar iqro-nya, walaupun ya
tetep dibaca (tapi girang banget pas libur iqro, hadeuh). Jadi, I gave him “the
talk” about why he needs to learn to
read the Holy Qur’an (dan artinya) in the simpelest yet serious way possible
(without bringing up the fires of hell—too young for this age). And I compared
his iqro book to the Qur’an, dijejerin depan dia. Nah, mulai deh dia ngeh dan jadi
lebih semangat ketika bisa sedikit-sedikit membaca ayat Al Qur’an yang ada
dalam beberapa surat juz amma. Ketika dia belajar mengenai tanda
panjang-pendeknya suatu huruf dibaca, setelah itu saya menunjukkan bahwa
tanda-tanda yang dia barusan belajar baca itu ada lho di dalam Al Qur’an...
apalagi ketika dia bisa baca beberapa bagian tertentu—bukan main rasa senangnya
dia!
Sederhana tapi bermakna. Tetep siih kadang aja malesnya, tapi ngingetinnya
cukup dengan mengangkat keberhasilan dia yang sebelumnya.
Meaningful learning menurut juga
berfungsi sebagai “rem penahan” buat ambisi dan ketakutan orang tua. Semua
anggapan orang tua masing-masing bahwa anaknya harus belajar A-Z sewaktu umur
sekian, semua “prestasi” anak yang dia tunjukkan (“eh anakku udah hafal ini
itu, udah bisa ini itu”)—back to the question, apakah itu bermakna buat anak itu? (bukan buat ortu/eyang/dst). Kids
are sponges, menyerap informasi yang diberikan... tapi seberapa lama informasi
itu akan terserap dan dianggap berguna kalau nggak dihubungkan dengan apa yang
dialaminya sehari-hari? Itulah tugas kita sebagai orang tua, sebagai jembatan
penghubung dan pendukung.
Misalnya, belajar menulis akan jadi
bermakna ketika dia diajak menulis buku harian atau surat untuk kerabat yang
jauh. Belajar membaca akan bermakna ketika dia bisa membaca sendiri buku cerita
yang dulunya selalu harus dibacakan mama papanya. Belajar berhitung jadi
bermakna ketika dia bisa melihat apa yang dia hitung, misalnya jumlah
mobil-mobilan yang dibawa ke rumah eyang supaya nantinya nggak ada yang
ketinggalan. Itu baru yang dasarnya... belum yang kompleksnya seperti belajar
tentang sejarah, hewan-hewan, dsb. Belum soal belajar life skills seperti
masak, nyuci, dsb. Di sini menurut saya, orang tua punya peran besar untuk
meng-expose anak dengan beragam pengalaman sesuai umurnya. Semakin banyak
exposure, maka anak dan ortu semakin punya banyak perbendaharaan reference yang
bisa kita gunakan untuk membuat kegiatan belajar anak-anak lebih meaningful
plus dengan sendirinya bisa membantu menjawab bagian “why?” si anak itu harus mempelajarinya. Ya tetap harus melihat
umur, tapi anak-anak itu masyaaAllah nggak terduga kemampuan otaknya (that’s
why I said, Allah is the guardian of our learning).
Misalnya, bulan kemarin kami
mengajak anak-anak ke Museum Nasional untuk Festival Dongeng Indonesia 2014.
Sewaktu saya ikut workshop, anak-anak diajak keliling melihat sebagian kecil
museum sama Si Hubs, di antaranya melihat prasasti-prasasti batu secara sekilas.
Beberapa minggu kemudian, saya berniat melukis batu sambil lihatin anak-anak
main sepeda di garasi (ceritanya mau bikin story stones) tapi anak-anak lihat
alat lukis langsung take over dengan
melukis batu jadi warna-warni. Tiba-tiba dengan santainya sambil melukis batu, Little
Bug bilang, “Mama, kita seperti orang-orang jaman dulu yah yang gambar di atas
batu”—err, what?!? MasyaaAllah, I did not expect that! Exposure yang sederhana
bisa bermakna ketika dihubungkan dengan kegiatan sehari-hari. Jadilah diskusi
singkat tentang media tulis (kertas dkk) dan merembet ke urusan kenapa nggak
boleh boros kertas plus soal aturan tempat corat-coret.
Dari kejadian itu, saya secara
pribadi jadi bisa berusaha lebih tenang untuk lebih mengendorkan kontrol saya
atas materi pembelajaran anak-anak. Lebih bersemangat untuk terus fine-tuning dinamika kerjasama antara saya
dan anak-anak dalam proses homeschooling ini, apalagi saat menjelang hs untuk jenjang
SD insyaaAllah tahun depan nanti (yang sudah mulai ada materi belajar tertentu di
luar minat belajar pribadi). Meaningful learning ini yang jadi “pelumas”nya
supaya meminimalisir friksi antara keinginan saya dengan keinginan anak-anak. Saya
ingin memfasilitasi minat anak-anak tanpa mengorbankan tujuan hs yg ingin saya
capai. Saya juga nggak mau anak-anak punya sikap dan asosiasi yang negatif
terhadap kata “belajar” itu sendiri, as if “belajar” itu adalah sebuah tugas
berat tanpa makna dan tanpa guna. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat
saya di kala lupa dan memberikan manfaat buat keluarga lain yang sedang
berjuang di jalan ini :)