24 Agustus 2014
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa
itu sepertinya sudah melekat di ingatan saya sejak jaman SD dulu, tapi anehnya,
baru sekarang-sekarang ini setelah ber-homeschool ria saya bisa menghayati
maknanya. Ya, seperti yang saya tuliskan pada entry blog yang lalu,
keputusan kami untuk ber-homeschool lama-lama semakin banyak kepingan-kepingan
puzzle yang mulai terlihat gambaran besarnya. Salah satu kepingan puzzle itu
hadir kembali ketika kunjungan ke Stasiun Besar Bogor tadi pagi hingga siang.
Awal mulanya adalah Little Bug yang
ingin belajar tentang kereta api jenis Argo. Mungkin perjalanan kami beberapa
bulan lalu ke Jawa Tengah (dengan menggunakan kereta Argo) memberikan kesan
yang mendalam sehingga dia mau belajar lebih lanjut tentang hal tersebut. Kalau
dipikir-pikir, alat transportasi jenis kereta api itu iconic dengan dunia anak-anak, dari lirik lagu “Naik Kereta Api”
hingga daya tarik luar biasa tiap kali melihat kereta melintas di jalan raya. Berhubung
di Bogor sendiri ada stasiun besar, jadi saya pikir cukuplah untuk saat ini
kunjungan ke sana sebagai perkenalan akan dunia perkeretaapian.
Tujuan saya sederhana: mengenalkan
kepada Little Bug bahwa kereta itu nggak jalan sendiri—ada support system
terpadu supaya kereta bisa jalan dengan aman, lancar, dan nyaman. Tapi untuk
melihat support system itu dari “balik layar” juga nggak bisa sembarangan
nyelonong begitu aja. Alhamdulillah Allah yang Maha Pengatur memudahkan saya
untuk pergi mengurus izin ke kantor PT KAI DAOP 1 Jakarta di stasiun Cikini,
berdua dengan Baby Bird naik kereta. Setelah izin diperoleh, tinggal koordinasi
dengan pihak Stasiun Besar Bogor, dalam hal ini kami langsung dibantu oleh Pak
Wakil Kepala Stasiun Bogor, Pak Herry. Berhubung kunjungan ini atas nama Klub
Hijau (klub-nya anak-anak homeschool di Bogor), jadilah saya ngajak para bocah
dari temen-temen SMA yang seumuran, the more the merrier, ceritanya. Kami semua masuk via pintu belakang stasiun,
diterima langsung oleh Pak Herry. Selanjutnya, ada petugas keamanan stasiun yang
mengantarkan kami keliling ke: ruang informasi, kabin masinis, ruang sinyal,
dan area keluar/masuk stasiun (tempat tiket elektronik itu).
Awalnya agak terasa kikuk, karena
kata Pak Herry, baru kali ini ada kelompok (dalam hal ini, emaknya hahaha) yang
minta kunjungan khusus untuk lingkungan stasiun saja, tanpa naik kereta—karena biasanya
kunjungan ke stasiun KA itu intinya adalah pada perjalanan naik keretanya,
hehehe J
Jadi mungkin para petugas di sana juga baru kali ini menerima segerombolan
bocah umur 4-8 thn yang melihat-lihat seperti apa sih pekerjaan mereka? Kalau
dipikir-pikir, seperti sidak atau ujian dadakan aja, ditanya-tanya ini itu sama
bocah & sama emak/bapaknya bocah, hehehe :P Tapi seperti yang dijelaskan
petugas di ruang informasi, para petugas di stasiun itu harus bisa semua
posisi, karena dirotasikan dan ada juga masa magang-nya di luar masa
pendidikannya. Di ruang informasi itu, yang menarik ada perangkat internet
untuk update app tentang posisi kereta commuter line, ada tempelan poster besar
berisi berbagai sandi perkeretaapian (dari dulu aja nggak hafal semaphor,
apalagi kalau suruh ngafalin sandi KA yg bejibun yak?), telfon model dulu, dan
ada genta juga!
Nah, genta itu adalah alat komunikasi penanda
kereta diberangkatkan dari 1 stasiun menuju stasiun berikutnya, yang
mengeluarkan bunyi “ting-tong” seperti jam dinding yang tua itu. Diputar handle-nya secara manual lalu memiliki
mekanisme yang (kalau gak salah) bekerja dengan menggunakan elektromagnet,
pokoknya berasal dari jaman dulu deh sebelum ada HT! Pertama kali menemukan
genta adalah ketika kami bertujuan kembalik ke Jakarta dari Solo dengan
menggunakan KA Argo Lawu... sambil nunggu kereta datang di Solo Balapan, kami
mendengar suara seperti dentang jam... kami lacak suaranya ke sebelah ruang
informasi di stasiun Solo Balapan, dan di sanalah kami dijelaskan secara
singkat mengenai alat bernama genta itu. Kalau di jalur arah Jawa Tengah &
Timur masih menggunakan genta, sedangkan ke arah Jawa Barat & Jabotabek
sudah nggak pakai lagi, sudah menggunakan perangkat elektronik semua. Kebetulan
genta yang di stasiun Bogor tadi sedang rusak, jadi sementara ini pakai HT saja
kalau memberangkatkan kereta yang ke arah Sukabumi.
Dari ruang informasi, kami diantar
menyebrang rel untuk naik ke rangkaian kereta commuter line yang masih menunggu
waktu keberangkatan. Kami diminta menunggu masinis KA tersebut datang... eh,
ternyata, nggak boleh sembarangan tuker-tuker masinis lho! Yang boleh masuk
kabin masinis suatu rangkaian KA itu ya hanya masinis yang bertugas untuk rangkaian
tersebut (pada hari itu). Inilah standar keamanan yang ketat, alhamdulillah
kami dapat izin untuk masuk sebentar ke ruang kabin masinis untuk diberikan
penjelasan singkat tentang cara “jalan”nya KA. O iya ya, kereta nggak bisa
belok, hanya bisa maju & berhenti.... sisanya mengikuti rel... ada tuas “tenaga”
(tadi pakai istilah “gas”, padahal kereta nggak pakai bensin toh? Hehehe)
dan tuas rem, dengan kecepatan maksimum
kereta 70km/jam kalau pas jam sepi dengan berbagai ketentuan khusus lainnya
sepanjang jalur KA dari Bogor-Jakarta. Komunikasi dengan stasiun lain menggunakan
HT dan selalu ada minimal 2 masinis di setiap rangkaian KA yang berjalan. Tadi
nggak sempat nanya-nanya tentang prosedur pendidikan/pelatihan untuk jadi
masinis, tapi yang saya bayangkan, pastinya sangat berat untuk menjalankan
rangkaian kereta dengan banyak gerbong dari sebuah kabin masinis yang sempit..
masyaaAllah! Sayangnya, masinis tadi cerita kalau masih saja ada yang melempari
KA dengan batu, makanya tetap ada pelindung kaca seperti teralis dipasang di
kaca kabin masinis. Sedih ya?
Kami nggak berlama-lama di kabun
masinis karena tidak ingin sampai mengganggu jadwal keberangkatan kereta. Dari sana alhamdulillah kami cukup beruntung
untuk diajak berkenalan dengan petugas yang paling besar tanggung jawabnya:
petugas pengatur sinyal! Seperti halnya bandara memiliki control tower, maka stasiun KA juga memiliki menara sinyal. Dengan
jendela-jendela besar sepanjang sisi dinding, ruangan itu selalu terkunci rapat. Kebetulan stasiun KA saat itu sedang kosong dan lengang
setelah semua KA saat itu sudah diberangkatkan, jadi kami diperbolehkan berkunjung sebentar (kalau lagi ramai/sibuk, nggak akan boleh! Bahaya!). Di sana, Bapak yang
sedang bertugas tadi tidak boleh ditemani siapa-siapa pada saat bertugas.
Makanan dipesan ke ruangan, sholat & keperluan ke kamar kecil pun sudah
diatur kapan saat-saat yang cukup “lengang” untuk sejenak melakukannya. Beliau
bertugas untuk mengatur keberangkatan & kedatangan KA, membuka &
menutup jalur rel yang dari maupun menuju stasiun Bogor (lupa sampai mana tadi
wilayah pengaturannya, kalau nggak salah sampai Depok deh). Di sana, kami dijelaskan kalau petugas pengatur
sinyal KA nggak boleh seenaknya bertindak, semuanya harus sesuai peraturan (dan
terlihat setumpuk buku aturan di samping meja itu). Kalau ada kereta mogok,
atau kawat aliran listrik yang bermasalah, semuanya sudah ada step-by-step
SOP-nya. Bapak inilah yang paling berat & besar tanggung jawabnya, karena
beliau yang menentukan tindakan yang akan dilakukan. Dan nggak semudah seperti
menderek mobil yang mogok atau memencet tombol untuk membetulkan sinyal yang
rusak. Sekali lagi, semua ada SOPnya untuk menjaga keamanan semua pihak.
Di sinilah, kepingan puzzle itu
muncul... jleb! Saya yang terkadang pernah mengeluh dengan mudahnya terhadap
kereta yang bermasalah, jadwal yang telat, dsb... ternyata si Bapak ini (dan
para petugas pengatur sinyal lainnya) yang bertanggung jawab menentukan
tindakan apa yang harus diambil untuk menyelesaikannya dan harus sesuai SOP, nggak boleh salah. Bapak yang berusaha melaksanakan tugasnya
dengan sebaik-baiknya, nggak boleh ngantuk, nggak boleh salah, harus
selalu tepat dan terjaga. Bapak yang bekerja begitu keras jauh di balik layar, jauh dari sorotan siapapun... begitu pula dengan
petugas yang lainnya, yang tugasnya nggak kalah penting... nggak pantaslah saya yang hanya penumpang ini mengeluh
seenaknya.
Ya, para penumpang pasti ingin sampai dengan
tepat waktu dan aman, lancar dan nyaman. Tapi semua itu nggak akan tercapai
tanpa kerja tim yang baik antar semua petugas di stasiun. Belum lagi faktor
perawatan, peremajaan, dsb, yang mungkin saja berhubungan dengan kebijakan dan
pendanaan dari pusat. Ada pepatah, don’t
shoot the messenger. Jangan marah kepada si penyampai berita yang tak
berkenan di hati kita. Mungkin begitu pula dengan para petugas KA.. ketika ada
masalah, belum tentu salah mereka.. dan kita baiknya berpikiran positif
terhadap mereka, dengan mengingat kalau semuanya berusaha keras memperbaikinya
semampu mereka (dengan sesegera mungkin). Siapa sih yang mau kalau perjalanan
kereta itu terlambat atau bermasalah? Siapa sih yang tak ingin memiliki
pelayanan KA yang nyaman, modern, dan memadai? Ya, memang kita mesti bersabar
dengan kondisi yang ada.. dan juga bersyukur atas semua kemajuan yang telah
dicapai. Belum sempurna, tapi yang penting sedang dalam proses menuju ke arah
yang lebih baik, terus begitu... tugas kitalah untuk mendoakan, saling
menyemangati, dan juga mengajak untuk mendukung proses tersebut, karena kita
juga punya kewajiban yang melekat pada hak
kita sebagai penerima layanan KA yang baik.
Jadi
pelajaran kami hari ini... adalah kembali diingatkan untuk menghargai kerja
keras para penyedia jasa publik kita. Tak kenal maka tak sayang, dan saya di
sini hanya berusaha bercerita pengalaman kami tadi, agar semakin banyak
masyarakat yang sadar akan kerja keras para petugas KA. Dan mulai dari anak-anak
kitalah tempat terbaik untuk membudidayakan sikap positif dan apresiasi
terhadap kerja keras seluruh elemen support system KA tersebut :)
Tetap semangat, terus maju menjadi semakin baik dari hari ke
hari! “Ayo kawanku lekas naik... keretaku
tak berhenti lama!”
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.