Saturday, August 22, 2015

Film “Inside Out”: Getting in touch with our own Emotional Headquarters

(Picture from Wikipedia)


Ditulis oleh: Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

*warning: may contain spoilers*

Akhirnya... film “Inside Out” yang ditunggu-tunggu ini, diputar di bioskop di sini! Jarang-jarang saya benar-benar suka dengan suatu film..tapi ini adalah film yang sangat sangat berkesan buat saya dan anak-anak. Nah saya akan sharing tentang insight  apa saja yang bisa diambil dari film ini. Namanya emakHS, pastilah nggak lepas dari mencari “teachable moments” atau learning opportunities, dan hal itu termasuk dengan film ini, hehehe! Nah, berhubung film ini bener-bener membahas soal emosi, maka menurut saya, film ini WAJIB DITONTON buat para orang tua, eyang, om-tante, guru, pengasuh, dan orang-orang dewasa lainnya yang sehari-harinya akan berinteraksi dengan anak-anak/pra-remaja/remaja. Bisa jadi kita juga bisa menyembuhkan diri sendiri setelah menonton film ini, hehehe ;p

Okay, selama nonton film ini (bahkan sebelum atau setelahnya), silahkan memikirkan insight-insight berikut...

1. Film ini sebagai alat bantu untuk memvisualisasikan berbagai emosi dasar manusia dalam bentuk yang konkrit, ketika menjelaskan ke anak-anak soal emosi-emosi tersebut.
Kelima tokoh emosi memiliki ciri-ciri yang mendukung gambaran emosi tersebut, misalnya Anger yang berwarna merah dan kadang berapi-api, Sadness yang “blue” dan selalu melankolis, dan Fear yang digambarkan sebagai karakter kurus kecil yang selalu ketakutan.  Labeling emosi itu adalah dasar dari proses pembelajaran tentang manajemen emosi, dan membutuhkan proses yang lamaaaaa... jadi alat bantu apapun sangat bermanfaat, apalagi kalau semenyenangkan film ini, hehehe!

2. Film ini memberikan gambaran secara sederhana, menarik, dan cukup mudah dipahami  mengenai berbagai macam dinamika emosi yang terjadi dalam otak kita ketika menghadapi suatu kejadian tertentu serta tentang cara kerja ingatan.
Meskipun terdapat beberapa hal yang tidak sepenuhnya akurat secara ilmiah, seperti yang tercantum dalam artikel ini dan ini, namun film ini bagi saya bisa jauh lebih mudah daripada saat kuliah saya mempelajarinya dalam mata kuliah psikologi faal dan psikologi umum (atau kognitif ya... lupa)!

3.  Film ini berisi pembelajaran soal emosi dasar manusia untuk seluruh keluarga.
Menurut saya, anak usia SD sudah mulai bisa mengerti isi pesan yang terkandung dalam film ini. Meskipun demikian, anak-anak balita seperti Baby Bird (yang sekarang berusia 3.4 thn) mungkin hanya akan melihat kalau karakter emosinya lucu-lucu dan bisa sekalian melatih mereka membedakan nama-nama tokoh emosi tersebut J
Nah, kenapa saya sampai bilang WAJIB tonton buat para orang tua dkk? Karena pendidikan tentang manajemen emosi itu adalah suatu area yang saya lihat masih belum banyak disadari pentingnya di Indonesia. Yang dikoar-koar adalah calistuuuuuuuuung *ampe monyong bilangnya* melulu.. Nah, kalau anak-anaknya di sekolah nanti misalnya pada suatu ketika jadi malas belajar, tawuran gara-gara hal sepele, ada kejadian bullying, dsb dsb itu.. baru deh kebakaran jenggot memikirkan soal penyebabnya, yang mana bisa saja salah satunya adalah pendidikan manajemen emosi yang terlupakan. Ya, menurut saya, ini warning sign yang udah kelap-kelip di dashboard kita, menuntut untuk ditindaklanjuti. Sebab, pendidikan soal manajemen emosi itu dimulai sejak dini dan berlangsung lamaaa sekali, bukan proses yang menghasilkan dalam waktu cepat melainkan akan menjadi apa ya... akan mengiringi dan menjadi support-system perkembangan anak-anak hingga mereka dewasa. Dewasa pun masih harus berjuang mengendalikan berbagai emosi... apa jadinya kalau sejak anak-anak tidak dimulai?

4. Semua emosi itu adalah anugerah dari Allah SWT buat manusia, untuk membantu otak dan hati dalam menentukan sikap dan tindakan kita dalam hidup ini.
Tentunya semua yang dianugerahkan Allah itu tentunya tidak ada yang sia-sia, seperti yang di akhir film terjawab pertanyaan dari si Joy (karakter emosi bahagia), “Kenapa sih harus ada Sadness (karakter emosi sedih)? Apa sih tugasnya dia? Karena harusnya manusia itu selalu bahagia...? Saya nggak mau Riley (anak perempuan yg menjadi tokoh utama film ini) untuk merasa sedih.” Si Joy bertanya demikian, karena pada awal film, dijelaskan tuh apa tugas dari masing-masing emosi, seperti: Anger (marah) yang berguna untuk menyalurkan agresi dan membela diri, Fear (takut) bertugas untuk melindungi Riley dari bahaya, dan Disgust (jijik) bertugas untuk melindungi Riley dari situasi yang bisa membuat dia dipermalukan atau menjadi sakit. Tapi Joy tidak habis pikir, buat apa ada Sadness, karena hanya membuat Riley sedih... padahal Joy adalah pengendali utama dari geng emosi tsb, karena pada dasarnya Riley kan gadis yang hampir selalu bahagia.. begitu pikirnya. Oleh karena itu, dari awal film, Joy selalu berusaha menjauhkan Sadness dari papan kontrol pikiran Riley di Headquarters (ruang pusat kendali). Pun Sadness dapat “giliran” di papan kontrol, Joy selalu berusaha agar ia cepat-cepat menyelesaikan tugasnya.

5. It’s okay to be (temporarily) sad; it’s not okay to deny your sadness.
Dalam film ini, kekacauan terjadi ketika Joy melarang Sadness menyentuh memory orb (bongkahan peristiwa yang akan masuk ke dalam ingatan Riley, dilambangkan dengan bola-bola memori) milik Riley, karena dia menginginkan memori-memori inti milik Riley berupa memori yang bahagia semuanya. Akibatnya, Joy dan Sadness tersedot masuk ke alam memori si Riley dan jadilah control panel di Headquarters tinggal dikendalikan oleh Anger, Fear, dan Disgust—cara kreatif dari Pixar untuk menggambarkan depresi ringan yang dialami Riley dalam kondisinya saat itu.
Karena Riley tidak menunjukkan kesedihannya, maka dia juga tidak mendapat bantuan dari siapapun mengenai perasaan-perasaan yang dia hadapi, sehingga lama-lama dia menjadi terputus dengan papan kendali perilakunya (yang tidak bisa dikendalikan pula oleh Anger, Fear, maupun Disgust). “Pulau-pulau kepribadian” dari Riley juga mulai hancur satu-per-satu seiring dengan depresi yang dia alami: hancurnya “pulau kekonyolan”, “pulau persabahatan”, “pulau kejujuran”, dan yang paling dramatis (dan bikin mau nangis emak ini) ketika robohnya “Pulau keluarga”.

6. Peran dari Sadness adalah untuk mengirimkan sinyal ke orang lain, bahwa kita butuh bantuan.
Joy akhirnya mengetahui peran sesungguhnya dari Sadness setelah menyadari bahwa memori bisa saja berubah dari yang awalnya sedih menjadi bahagia kembali, setelah kesedihan tersebut dihadapi dan diatasi dengan bantuan dari orang lain. Jadi alih-alih menafikan rasa sedih, malah rasa sedih itu seharusnya  diterima dan dihadapi, supaya bisa merasa bahagia kembali.
Jadi kalau anak menangis karena sedih, kita jangan memarahi mereka karenanya... namanya juga manusia, maka anak berhak merasakan semua jenis emosi, jangan hanya positifnya saja yang diakui tapi juga negatifnya. Tinggal kita pelan-pelan mengajarkan bagaimana cara menyalurkan emosi tsb dengan cara yang dapat diterima, sesuai dengan usia mereka.

7. Sesuatu hal akan diingat apabila berkesan/relevan/menyenangkan.
Pekerja kebersihan dalam alam penyimpanan memori Riley berkata kepada Joy, "If Riley doesn't care about a memory, it fades...". Nah... ada pembersihan bongkah-bongkah memori yang sudah tidak diperlukan atau dipedulikan lagi oleh Riley, disedot pakai vaccum cleaner untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan memori. Kalau sebuah ingatan nggak digunakan kembali di kemudian hari, maka lama-lama ingatan itu akan hilang, seperti pepatah  use it or lose it”. Jadinya kita sebagai orang tua juga bisa merenung, sudahkah kita membuat kenangan yang berkesan buat anak-anak? Kesannya bukan di kita, tapi di anak-anak... dan ini menjadi reminder buat kami ketika akan merencanakan kegiatan/liburan keluarga dan juga buat sebagai bahan obrolan sehari-hari dengan anak-anak. Selain itu, kaitannya dengan belajar adalah, anak-anak akan mengingat hal-hal yang bermanfaat/relevan/menyenangkan menurut mereka. Sudahkah kita membuat proses belajar mereka demikian? *namanya juga emak HS, pasti ujung2nya refleksi ke kegiatan “belajar” keluarga sehari-hari hehehe*

8. Anak-anak memandang dunia dari kacamata anak-anak.
Ini adalah reminder buat kita para orang tua, bahwa bisa saja sesuatu yang menurut orang tua itu nggak masalah, bisa jadi masalah buat anak-anak. Seperti dalam film, kepindahan keluarga Riley ke tempat tinggal baru yang jauh itu sebenarnya membuat Riley merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, takut, dan marah. Akan tetapi, Riley mendapat kesan dari orang tuanya (dan juga didorong oleh Joy) bahwa mereka ingin agar dia bahagia dengan kepindahan tersebut...sehingga dia berusaha memaksakan diri untuk senang dan menutupi perasaan sedihnya. Jadi, sebagai orang tua, jangan lupa kalau cara canak-anak memandang dunia itu bisa jadi berbeda dengan apa yang kita pikirkan... yuk, kita coba untuk lebih sering mengobrol tanpa menghakimi... dan berusaha untuk memahami cara berpikir anak-anak kita :)

9. All feelings are okay, all behavior isn’t.
Orang tua Riley selama durasi film tetap teguh dengan batasan yang tegas untuk perilaku yang tidak sopan atau yang tidak dapat diterima. Mereka menegur perilakunya, bukan perasaannya. Dan ketika Riley belum mau bercerita, mereka juga tidak memaksanya untuk bercerita, namun meyakinkannya kalau mereka akan ada di sana kalau dia sudah mau bercerita pada mereka. Selain itu, mereka juga tidak langsung memarahi Riley ketika dia kembali ke rumah habis seharian dicari-cari oleh mereka... ketika Riley menangis dan bilang kalau dia rindu dengan rumah mereka yang lama, mereka bukannya memarahinya tapi justru mendengarkan dan berusaha mengerti perasaannya. Sudahkah kita bisa seperti itu?

10. Life changes, but family sticks together, no matter what.
Terakhir, kita bisa lihat Riley dan keluarganya beradaptasi dengan kehidupan mereka yang baru. Apapun yang terjadi, mereka sadar bahwa keluarga lah yang utama dan harus menjadi tim yang solid. Keluarga adalah sebuah tim yang saling membantu dan membutuhkan dukungan satu sama lainnya. Kita juga harus menyadari bahwa dinamika keluarga akan terus berkembang seiring dengan perkembangan usia anak-anak (dan kita juga)... jadi harus senantiasa berusaha menjaga agak komunikasi tetap terbuka dan hangat, agar bisa melalui suka dan duka bersama-sama.

Semoga insight-insight di atas bisa memperkaya manfaat dari menonton film ini :)

                                           

Friday, August 07, 2015

Opening doors

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"

Sewaktu kami memutuskan untuk memilih alternatif pendidikan anak-anak berupa homeschool, pada awalnya kami membayangkan kalau kami akan bisa menjalani kegiatan belajar yang lebih santai, sesuai dengan minat anak, tanpa terikat dengan segala hikuk-pikuk pendidikan formal pada umumnya. Lalu... kami dibangunkan dari mimpi yang ideal itu dengan kabar bahwa ada peraturan mendikbud no.129 thn. 2014 mengenai "sekolahrumah" alias homeschool ini. Jegerrr!

Reaksi teman-teman HS terhadap permen tsb sepertinya sangat beragam, berhubung kami tidak terikat komunitas manapun, jadi mau nggak mau harus menentukan sikap dan bergerak mencari  informasi sendiri.

Kami pada dasarnya menyambut baik adanya peraturan ini, krn meneguhkan status anak-anak yang berHS ria. Tapi memang di sisi lain, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga HS, yang bukan tidak mungkin, kurang sejalan dengan visi misi maupun kegiatan keluarga HS yang sangat beragam.

Kalau keluarga kami sendiri... kami memang menginginkan anak-anak untuk kelak memiliki ijazah nasional maupun internasional. Kenapa? Karena kami ingin membuka pintu sebanyak-banyaknya buat anak-anak kami kelak ketika mereka menyusuri perjalanan hidup mereka sendiri. Jangan sampai nantinya mereka terhalang oleh persyaratan administrasi ketika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi.. atau siapa tau mau ambil beasiswa baik dalam/luar negri.. atau apapun yang membutuhkan ijazah resmi... just because we (as their parents) didn't take the necessary steps to ensure they can get it when the time comes.

Jangan salah.. we do not want to "teach to the test"--- justru salah satu alasan kami HS adalah untuk menghidari konsep belajar hanya demi nilai! Bukan lantas ijazah ini jadi satu2nya tujuan dalam HS kami ya... tapi kami lebih memandangnya sebagai tantangan.. bagaimana kita bisa menyelaraskan antara keinginan untuk nantinya mendapatkan ijazah ini dengan semangat untuk terus belajar seumur hidup dan mengejar apa yang diminati.

Okay, selesai urusan paradigma... dengan kaca mata positive thinking, saya lalu mendatangi disdik di tempat tinggal kami. Alhamdulillah diterima dengan baik, lalu saya berdiskusi panjang lebar mengenai implikasi permen ini, serta apa yg menjadi hak dan kewajiban saya sbg orang tua. Nah, sampai saya menulis ini, setahu saya belum ada petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan permen 129 itu. Jadi masih banyak area abu-abu... tapi yg bisa saya pahami dari diskusi pada hari itu adalah (semoga nggak salah):

1. Kita wajib mendaftarkan anak kita yg HS ke disdik setempat, dengan membawa fotokopi identitas diri dari orang tua dan anak, surat pernyataan dari orang tua yg menyatakan akan bertanggung jawab untuk menjalankan pendidikan di rumah, klo si anak sudah di atas 13thn maka dia juga harus bikin surat pernyataan bersedia menjalani pendidikan hs, dan dokumen program sekolahrumah yg sekurang-kurangnya mencantumkan rencana pembelajaran.

Format dan ketentuan semua dokumen itu belum ada, jadi saya buat sederhana namun terkesan resmi. Saat ini masih berkutat di rencana pembelajaran (saya hanya buat rencana untuk tahun ajaran ini saja), jadi belum balik lagi ke disdik buat daftar secara resmi (jadi belum tau juga tanggapan mereka akan seperti apa thd dokumen2 yg saya buat ini). Tunggu tanggal mainnya yaa!

2. Kalau sudah terdaftar, karena juknis belum ada, jadi disdik juga belum ada peraturan yg mengatur hak/kewajiban mereka ke kita, dan sebaliknya. Jadi untuk saat ini sifatnya supaya saling tahu saja dan sebagai awal partnership kita dengan mereka. Nah, waktu itu sempet ada pembicaraan mengenai NISN (nomor induk siswa nasional) buat anak HS yg terdaftar, tapi saya lupa bagaimana dan sepertinya masih belum jelas ketentuannya. Nanti insyaaAllah saya akan tanya lagi pas ke disdik. Logikanya sih klo terdaftar berarti akan dapat NISN atau at least sudah terdaftar dalam sistem.. jadi kalau ada apa-apa sudah ada administrasinya.

3. Kurikulum yg dipakai mengacu kpd kurnas. Plus harus mengajarkan Agama, PPKn dan Bhs Indonesia di luar pelajaran lainnya.
Nah, buat kami yang ingin memakai kurikulum Cambridge, ini jadi tantangan karena tadinya berniat ngebut drilling soal ketika kls 5/6 aja buat ujian paket A, nah jadinya kan gak bisa sesederhana itu. Kesan pertama: wah jadi banyak dong pelajarannya! Tapi kalau mau positive thinking, kita bisa cari cara supaya pelajaran kurnas ini bisa dibuat semenarik mungkin dan diselaraskan dengan kegiatan belajar yg lain (yang sesuai dengan visi misi dan metode yg kita gunakan). Dan dari sepanjang hari, paling yg dipakai untuk belajar materi kurnas itu berapa lama sih.. nggak harus sepanjang hari kan..?
Plus.. pelajaran bahwa in life, there are just some things you just have to do even though you don't like it.. but it doesn't mean that your life will be taken over by it. Pinter-pinternya kita aja mengaturnya. Toh yang penting kontennya aja yg sesuai kurnas.. metode pengajarannya? Terserah kita! (dan nggak perlu dilaporkan, hehehe)

4. Evaluasi dilakukan oleh pendidik (orang tua), lembaga informal/nonformal, dan/atau pemerintah. Nah ini masih agak abu-abu bagi saya, tapi menurut ibu kabid yang berdiskusi dengan saya, jadinya kita melakukan evaluasi secara berkala (semesteran) bekerja sama dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat) setempat. Nah teknis evaluasinya itu tergantung PKBM yg kita gandeng, dan nantinya evaluasi tsb akan dituangkan dalam raport yg dikeluarkan oleh PKBM. 
Nilai-nilai raport itu kalau nggak salah menjadi salah satu syarat nantinya ujian kesetaraan (paket A,B,C) dan menjadi salah satu dokumen pendukung jika nantinya berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal selanjutnya, meskipun ijazah paket belum keluar (sementara bisa pakai surat keterangan lulus ujian, yg juga nantinya diterbitkan oleh PKBM tsb berdasarkan hasil ujian si anak). Ini khusus buat yg sudah mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi. Klo yg belum ya raport buat pegangan aja kalau sewaktu-waktu dibutuhkan hehehe :)

Okay, dengan berbekal poin-poin di atas, saya akhirnya meminta rekomendasi disdik untuk PKBM setempat yang track recordnya sudah terbukti baik. Sebenarnya bisa googling juga sih, tapi pastikan PKBM yg dituju sudah terdaftar dan memiliki NILEM (nomor induk lembaga atau apa gitu ya). Langkah selanjutnya adalah untuk berdiskusi dengan pengelola PKBM, membicarakan teknis partnership kami dengan mereka. Syukur-syukur mereka juga sudah mengetahui soal permen sekolahrumah, jadi akan lebih memudahkan pengaturan partnership ini sesuai dengan ketentuan yg diminta oleh si permen tsb.

Hosh-hosh.. panjang juga ya tulisan ini.. begitu pula perjuangan ini hehehe! Hikmah yang dapat saya ambil adalah melatih keberanian dan mendorong saya untuk asertif dalam mengurus kebutuhan pendidikan anak-anak. Nggak usah nunggu yang lain bergerak, jadilah penggerak kalau memang tujuannya baik, insyaaAllah :)

Semoga sharing pengalaman saya ini bisa bermanfaat :)

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"