Friday, October 13, 2017

Turun Gunung

October 13, 2017

Hello... apa kabar? Kangen nulis... :)
Terakhir sempat menulis blog itu... ketika sedang awal-awal berjuang menghadapi alergi Baby Squirrel. Sejak usia 4-5 bulan, alergi makanannya timbul berupa dermatitis atopi. It’s the rash on the cheek that everyone says “Ahhh, pasti kena ASI ya?”--- and then I have to explain to them what it’s all about. Awalnya masih santai, lama-lama pegel juga menjelaskan ke setiap orang yang ditemui di jalan, bahkan yg nggak saya kenal. Belum lagi yang memberikan unsolicited advice mengenai penanganan alergi pada Baby Squirrel. Dan makin lengkap kalau dapat judgement atau komentar yang melebar mengenai hal-hal yang nggak ada kaitannya sama sekali dengan topik alergi. Jadilah saya memutuskan untuk sementara hanya fokus pada urusan keluarga kecil saya saja. Sementara “menghilang” dari keramaian social media. They needed me. And I was determined to give them my 200%.

Dealing with food allergies benar-benar menjungkirbalikkan kehidupan seluruh keluarga kami, but only for the better. Only for the better? Yes, I can say that now. Setelah bertapa di atas gunung menghadapi perubahan dalam keluarga kami, mamak yang satu ini sudah bisa turun gunung dengan wangsit lengkap buat menata kembali kehidupan keluarga dan berbagi cerita.  No, Baby Squirrel still has his allergies, but alhamdulillah not as bad as before. You could say that the whole allergy episode brought our whole family to a new chapter of life, hard yet better for all of us, insyaaAllah.

“The only thing constant in life is change.” –Heraclitus

Saya menganggap bahwa Allah menyentil saya untuk berubah menjadi lebih baik melalui alergi makanannya Baby Squirrel. Tekanan yang begitu besar untuk mengubah pola makan malah menjadikan seluruh keluarga lebih “sadar diri” dalam hal makanan. Bahan makanan yang menimbulkan alergi bukannya dipaksakan untuk diberikan, melainkan dicari penggantinya. Do you know how hard it is to change your own eating mindset? Bahwa orang Indonesia nggak akan kenyang sebelum makan nasi? Nah kalau anaknya alergi sama beras putih, gimana? Jeng jeng jeng  jenggggg.... *cue horror music*

Menghadapi alergi makanan ini, saya sepertinya melalui “the 5 stages of grief” dari Kubler-Ross:
1. Denial (Ah, masa ini bikin dia alergi sih? Makan aja terus supaya nanti lama-lama kebal. Nanti juga alerginya hilang kalau sudah makin besar.)
2. Anger (Kenapa obat ini nggak ada efeknya? Kenapa anak ini harus alergi sama makanan favorit saya? kenapa ini terjadi sama anak saya? kenapa semua orang bisa makan seenaknya dan nggak ada yang mengingat bahwa saya sedang bersusah payah menghindari makanan itu? Kenapa saya tadi makan makanan itu, setelahnya si kecil jadi merah-merah lagi deh pipinya.. )
3. Bargaining (dulu waktu hamil saya makan apa yang menyebabkan alergi ini ya? Kalau saja saya bisa mengulang kembali waktu? Berusaha mencari cara buat mengurangi atau mengobati alergi dengan hasil yang sesegera mungkin.)
4. Depression (nggak kepingin makan karena takut menimbulkan alergi. Merasa bersalah karena makan seenaknya. Merasa bersalah karena memberikan macam-macam obat anti-alergi untuk anak padahal masih bayi.)
5. Acceptance (menerima bahwa komposisi makanan keluarga harus berubah dan mencari alternatif pengganti bahan makanan tertentu; menerima bahwa alergi tidak akan hilang begitu saja dan mencari celah supaya bisa sesekali mencicipi makanan yang membuat alergi; bersyukur bahwa reaksi alergi hanya berupa ruam di pipi---bukan anaphylactic shock yang mengancam jiwa. Terus mengingat bahwa yang penting anak sehat dan ceria dan kita berusaha sebaik mungkin buat menjaganya agar tumbuh sehat. Mengambil hikmah dari semua ini).

“We think about our problems all the time, but we don’t think about all the problems Allah saved us from.” – Nouman Ali Khan

Quote di atas benar-benar membuat saya tersadar akan betapa beruntungnya kami sekeluarga. Yes, food allergies are hard. Akan tetapi, masih jauh lebih banyak hal yang patut disyukuri dengan hadirnya tantangan alergi ini. Seluruh keluarga jadi lebih bervariasi jenis makanannya, terutama untuk jenis sumber karbohidratnya. Sejauh ini kami sudah mencoba beras analog jagung, sorghum, quinoa, dan buckwheat.. belum lagi aneka superfood seperti chia seed, nutritional yeast, serta aneka pemanis non-gula tebu seperti gula singkong, gula aren, maupun gula sorghum. Para kakak juga sudah belajar untuk memikirkan apakah mama dan adiknya bisa makan suatu makanan serta mendapat kosa kata baru seperti gluten-free, allergen, refined sugar, dkk. Sungguh pembelajaran yang luar biasa.. dari yang tadinya asal makan malah menjadi makan yang tidak asal-asalan. #Gratefuleating as I like to call it. Sebab, hadirnya alergi makanan ini mengingatkan saya untuk lebih mensyukuri makanan yang bisa saya makan. Makan secara sadar dan benar-benar berusaha untuk menyiapkan makanan yang lebih sehat. Keluar dari zona nyaman bernama nasi putih, tepung terigu, fasto food, dan processed food. Kembali berjibaku di dapur, mencoba aneka resep meskipun gagal. Berdamai dengan keadaan tanpa hanya pasrah semata... tetap berusaha membuat makan menjadi hal yang menyenangkan dan mendekatkan seluruh keluarga.

Yoshhh... lega deh udah curhat. I know I’m not alone on this allergy thingy, so that’s why I’m telling you my story. Just to let you know that you are not alone, just in case you have a similar situation like mine. In any case, be thankful with everything and keep on fighting, Momma!