Saturday, January 16, 2016

The Day They Took Our Playground Away

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com

Okay, this is my “mom-rant” alias keluhan khas emak-emak. Sebelum mulai, saya ingin membuat pernyataan disclaimer dulu: saya sangat mensyukuri kota tempat tinggal saya sekarang. Saya menghargai upaya pemerintah mempercantik lingkungan kota. Saya juga menyadari bahwa kami tinggal di area perkotaan, di mana lahan terbuka hijau memang terbatas. Jadi, saya pun bersyukur atas “apa yang ada” terlepas apakah hal tsb “ideal” ataupun tidak, karena ya… “yang penting ada”. Saya juga bersyukur masih mampu membiayai anak-anak saya untuk ke playground berbayar. There. Sudah ada disclaimer yaa… jadi mari mulai menyalurkan rasa kecewa dan kehawatiran saya sebagai seorang emak HS atas semakin terbatasnya fasilitas ruang bermain outdoor bagi anak-anak. 

Jadi begini ceritanya…. Di kota tempat kami tinggal, ada sebuah taman yang tidak terlalu jauh dari rumah. Taman itu terbuka dan gratis dan menurut saya cukup luas. Ada tempat buat duduk-duduk, ada pohon-pohon yang rindang, ada area berumput yang cukup luas, dan ada 2 buah set ayunan untuk anak-anak (yang pada prakteknya dipakai oleh bayi hingga para ABG). Sederhana tapi terdengar ideal buat main anak-anak, bukan? Meskipun kami tidak ke sana setiap hari, namun setiap kali ke sana, anak-anak selalu senang bermain ayunan atau sekedar berlari-lari di area rumputnya. Kalau hari Minggu, taman itu ramai oleh keluarga dan ada penjual makanan di sekitarnya plus penjual aneka mainan anak yang bisa dimainkan di luar ruangan, seperti gelembung sabun, bola, dsb.

Nah, beberapa bulan yang lalu, taman tersebut tiba-tiba direnovasi supaya menjadi lebih cantik. Hasilnya, memang lebih cantik. Tapi saya dan anak-anak sedih karena ayunan kami hilang, digantikan oleh trotoar/walkway cantik yang melintasi taman tersebut. Area rumput yang tadinya cukup luas terbagi menjadi petak-petak yang ditumbuhi aneka tanaman/bunga yang cantik. Area yang agak lebar pun adalah area yang dilandasi oleh semen, cocok untuk duduk-duduk atau bersepeda (asalkan tidak ada yang sedang duduk-duduk di sana). Juga ditambahkan neon box berupa huruf-huruf yang menghiasi taman tersebut dengan namanya, dilengkapi dengan areal yang cukup memadai buat ber-selfie ria.

Taman itu memang cocok buat jalan-jalan santai melintasi taman atau misalnya naik otopet/sepeda. Atau sekedar duduk-duduk di bangku yang disediakan. Cantik, memang. Tapi, kenapa ayunan kami diambil? Kenapa areal rumput luas sekarang terpotong oleh walkway yang membaginya menjadi petak-petak yang ditumbuhi tanaman yang cantik, yang “tidak boleh diinjak”? Anak-anak kalau mau main lempar-lempar bola harus lebih berhati-hati karena arealnya menjadi jauh lebih sempit. Mau lari-lari, ya masih bisa sih, asal nggak kesandung batasan2 walkway atau nabrak orang yang lagi berjalan kaki santai melintasi walkway taman. Paling sedih, kenapa areal buat nama taman lebih luas daripada areal rumputnya? Kenapa buat selfie difasilitasi, sedangkan alat bermainnya dihilangkan? I bet those neonbox letters cost more than 1 simple set of playground equipment.

Seperti yang sudah saya bilang di disclaimer, saya masih bersyukur taman tersebut ada dan tidak dijadikan menjadi tempat parkir atau apa. Saya juga mengakui, taman tersebut lebih cantik dan rapi. Tapi anak-anak kecil yang menjadi generasi penerus kota ini nggak butuh cantik dan rapi ataupun tempat selfie—mereka lebih membutuhkan ruangan terbuka lebar yang hijau sebagai tempat bermain.
Pernahkah kita menghitung berapa banyak areal playground terbuka yang gratis, yang tersedia untuk anak-anak? Kota saya, yang ironisnya memiliki banyak taman dan kebun yang cantik, kehilangan salah satu taman bermain anak-anaknya. Kalau anak-anak saya mau berlari-larian dengan bebas, pilihan terakhir saya hanyalah lapangan luas di pusat kota, yang itupun harus berbagi dengan masyarakat yang juga menggunakannya untuk bermain bola. Atau ya saya harus mengajaknya ke playground berbayar di berbagai pusat perbelanjaan. Ya, kami harus membayar per jam untuk suatu hal yang harusnya menjadi hak mereka sebagai anak-anak. Alhamdulillah kami bisa menyisihkan dana, nah buat anak-anak yang orang tuanya bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan dasar, bagaimana caranya??

Di sini, saya merasakan playground sebagai barang mewah. Hanya anak-anak yang menjadi siswa sekolah tertentu bisa menikmatinya, atau harus ke mall dulu dan bayar untuk bisa menikmatinya dengan sesekali, sesuai kemampuan orang tua. Mungkin mereka berpikir, buat apa menyediakan alat bermain gratis kalau nantinya akan dirusak? Tapi bagaimana anak-anak akan belajar merawat kalau tidak diberikan sama sekali? Apa susahnya mempekerjakan beberapa orang satpam untuk menjaga keamanan playground publik?

Mungkin mereka berpikir, anak-anak sudah bisa bermain di sekolahan. Tapi, apa kabar dengan sekolah yang tidak memiliki alat bermain yang memadai? Belum lagi jam istirahat/bermain yang terbatas.  Di sisi lain, orang tua yang libur pada akhir pekan terpaksa membawa anak-anaknya lagi-lagi ke mall, karena hanya di situlah tempat bermain anak-anak berada, baik yang gratis maupun berbayar. 

Ah, anak-anak tidak membutuhkan alat-alat playground pun sudah bisa bermain kok! Iya, memang… tapi adanya beberapa alat bermain seperti ayunan,, perosotan, panjat-panjatan, dsb bisa membuka beragam kesempatan bermain dan belajar keterampilan baru… tidak berhakkah anak-anak diberikan alat bantu untuk menambah keasyikan bermain? Sebegitu rugikah mengeluarkan uang untuk generasi cilik kita? Selama ini, ada taman untuk berlatih skateboard… ada lapangan bola umum… ada lapangan bulu tangkis… bahkan ada taman buat corat-coret graffiti—semuanya rata-rata untuk remaja ke atas. Kapankan anak-anak kecil kita akan memiliki taman bermain yang layak dan khusus untuk mereka? Haruskah mereka menjadi warga yang besar dulu untuk bisa menikmati fasilitas ruang terbuka publik? 

Anak-anak berlari bebas di sebuah taman kota yang letaknya sekitar 2 jam dari kota tempat tinggal kami

Anak-anak kecil lah yang paling membutuhkan ruang terbuka lebar untuk berlari, lompat, eksplorasi, dan bergerak tanpa larangan “awas, nabrak! Awas, nggak boleh menginjak rumput!” dan berbagai macam peringatan lainnya. Tapi sayangnya, semakin lama, ruangan terbuka untuk mereka semakin berkurang. Padahal, kurangnya waktu dan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak dan bermain bebas di tempat terbuka bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar, mempengaruhi rentang perhatian mereka, koordinasi motorik mereka, dst. Intinya, anak-anak butuh ruang untuk bergerak pada usia mereka yang masih kecil, bukannya menunggu mereka besar dulu!

Saya tidak mau membandingkan kondisi kota tempat tinggal saya dengan kota maupun negara lainnya, karena setiap tempat berbeda-beda kondisi lingkungannya. Namun, saya hanya merindukan sesuatu yang sederhana yang pernah saya alami sebelumnya (di 2 negara yang berbeda plus di kota tempat tinggal kami saat ini) dan kini semakin lama semakin susah dijangkau, baik secara lokasi maupun secara finansial.  


Semoga tulisan saya ini bisa menggerakkan hati kita semua untuk memikirkan nasib bermain anak-anak kita. Where there is a will, there is a way... we just have to remember that kids are our next generation, so they deserve to be thought of in the way that we think about facilitating the development of our teens and adults as part of our society.