Friday, August 07, 2015

Opening doors

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"

Sewaktu kami memutuskan untuk memilih alternatif pendidikan anak-anak berupa homeschool, pada awalnya kami membayangkan kalau kami akan bisa menjalani kegiatan belajar yang lebih santai, sesuai dengan minat anak, tanpa terikat dengan segala hikuk-pikuk pendidikan formal pada umumnya. Lalu... kami dibangunkan dari mimpi yang ideal itu dengan kabar bahwa ada peraturan mendikbud no.129 thn. 2014 mengenai "sekolahrumah" alias homeschool ini. Jegerrr!

Reaksi teman-teman HS terhadap permen tsb sepertinya sangat beragam, berhubung kami tidak terikat komunitas manapun, jadi mau nggak mau harus menentukan sikap dan bergerak mencari  informasi sendiri.

Kami pada dasarnya menyambut baik adanya peraturan ini, krn meneguhkan status anak-anak yang berHS ria. Tapi memang di sisi lain, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga HS, yang bukan tidak mungkin, kurang sejalan dengan visi misi maupun kegiatan keluarga HS yang sangat beragam.

Kalau keluarga kami sendiri... kami memang menginginkan anak-anak untuk kelak memiliki ijazah nasional maupun internasional. Kenapa? Karena kami ingin membuka pintu sebanyak-banyaknya buat anak-anak kami kelak ketika mereka menyusuri perjalanan hidup mereka sendiri. Jangan sampai nantinya mereka terhalang oleh persyaratan administrasi ketika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi.. atau siapa tau mau ambil beasiswa baik dalam/luar negri.. atau apapun yang membutuhkan ijazah resmi... just because we (as their parents) didn't take the necessary steps to ensure they can get it when the time comes.

Jangan salah.. we do not want to "teach to the test"--- justru salah satu alasan kami HS adalah untuk menghidari konsep belajar hanya demi nilai! Bukan lantas ijazah ini jadi satu2nya tujuan dalam HS kami ya... tapi kami lebih memandangnya sebagai tantangan.. bagaimana kita bisa menyelaraskan antara keinginan untuk nantinya mendapatkan ijazah ini dengan semangat untuk terus belajar seumur hidup dan mengejar apa yang diminati.

Okay, selesai urusan paradigma... dengan kaca mata positive thinking, saya lalu mendatangi disdik di tempat tinggal kami. Alhamdulillah diterima dengan baik, lalu saya berdiskusi panjang lebar mengenai implikasi permen ini, serta apa yg menjadi hak dan kewajiban saya sbg orang tua. Nah, sampai saya menulis ini, setahu saya belum ada petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan permen 129 itu. Jadi masih banyak area abu-abu... tapi yg bisa saya pahami dari diskusi pada hari itu adalah (semoga nggak salah):

1. Kita wajib mendaftarkan anak kita yg HS ke disdik setempat, dengan membawa fotokopi identitas diri dari orang tua dan anak, surat pernyataan dari orang tua yg menyatakan akan bertanggung jawab untuk menjalankan pendidikan di rumah, klo si anak sudah di atas 13thn maka dia juga harus bikin surat pernyataan bersedia menjalani pendidikan hs, dan dokumen program sekolahrumah yg sekurang-kurangnya mencantumkan rencana pembelajaran.

Format dan ketentuan semua dokumen itu belum ada, jadi saya buat sederhana namun terkesan resmi. Saat ini masih berkutat di rencana pembelajaran (saya hanya buat rencana untuk tahun ajaran ini saja), jadi belum balik lagi ke disdik buat daftar secara resmi (jadi belum tau juga tanggapan mereka akan seperti apa thd dokumen2 yg saya buat ini). Tunggu tanggal mainnya yaa!

2. Kalau sudah terdaftar, karena juknis belum ada, jadi disdik juga belum ada peraturan yg mengatur hak/kewajiban mereka ke kita, dan sebaliknya. Jadi untuk saat ini sifatnya supaya saling tahu saja dan sebagai awal partnership kita dengan mereka. Nah, waktu itu sempet ada pembicaraan mengenai NISN (nomor induk siswa nasional) buat anak HS yg terdaftar, tapi saya lupa bagaimana dan sepertinya masih belum jelas ketentuannya. Nanti insyaaAllah saya akan tanya lagi pas ke disdik. Logikanya sih klo terdaftar berarti akan dapat NISN atau at least sudah terdaftar dalam sistem.. jadi kalau ada apa-apa sudah ada administrasinya.

3. Kurikulum yg dipakai mengacu kpd kurnas. Plus harus mengajarkan Agama, PPKn dan Bhs Indonesia di luar pelajaran lainnya.
Nah, buat kami yang ingin memakai kurikulum Cambridge, ini jadi tantangan karena tadinya berniat ngebut drilling soal ketika kls 5/6 aja buat ujian paket A, nah jadinya kan gak bisa sesederhana itu. Kesan pertama: wah jadi banyak dong pelajarannya! Tapi kalau mau positive thinking, kita bisa cari cara supaya pelajaran kurnas ini bisa dibuat semenarik mungkin dan diselaraskan dengan kegiatan belajar yg lain (yang sesuai dengan visi misi dan metode yg kita gunakan). Dan dari sepanjang hari, paling yg dipakai untuk belajar materi kurnas itu berapa lama sih.. nggak harus sepanjang hari kan..?
Plus.. pelajaran bahwa in life, there are just some things you just have to do even though you don't like it.. but it doesn't mean that your life will be taken over by it. Pinter-pinternya kita aja mengaturnya. Toh yang penting kontennya aja yg sesuai kurnas.. metode pengajarannya? Terserah kita! (dan nggak perlu dilaporkan, hehehe)

4. Evaluasi dilakukan oleh pendidik (orang tua), lembaga informal/nonformal, dan/atau pemerintah. Nah ini masih agak abu-abu bagi saya, tapi menurut ibu kabid yang berdiskusi dengan saya, jadinya kita melakukan evaluasi secara berkala (semesteran) bekerja sama dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat) setempat. Nah teknis evaluasinya itu tergantung PKBM yg kita gandeng, dan nantinya evaluasi tsb akan dituangkan dalam raport yg dikeluarkan oleh PKBM. 
Nilai-nilai raport itu kalau nggak salah menjadi salah satu syarat nantinya ujian kesetaraan (paket A,B,C) dan menjadi salah satu dokumen pendukung jika nantinya berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal selanjutnya, meskipun ijazah paket belum keluar (sementara bisa pakai surat keterangan lulus ujian, yg juga nantinya diterbitkan oleh PKBM tsb berdasarkan hasil ujian si anak). Ini khusus buat yg sudah mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi. Klo yg belum ya raport buat pegangan aja kalau sewaktu-waktu dibutuhkan hehehe :)

Okay, dengan berbekal poin-poin di atas, saya akhirnya meminta rekomendasi disdik untuk PKBM setempat yang track recordnya sudah terbukti baik. Sebenarnya bisa googling juga sih, tapi pastikan PKBM yg dituju sudah terdaftar dan memiliki NILEM (nomor induk lembaga atau apa gitu ya). Langkah selanjutnya adalah untuk berdiskusi dengan pengelola PKBM, membicarakan teknis partnership kami dengan mereka. Syukur-syukur mereka juga sudah mengetahui soal permen sekolahrumah, jadi akan lebih memudahkan pengaturan partnership ini sesuai dengan ketentuan yg diminta oleh si permen tsb.

Hosh-hosh.. panjang juga ya tulisan ini.. begitu pula perjuangan ini hehehe! Hikmah yang dapat saya ambil adalah melatih keberanian dan mendorong saya untuk asertif dalam mengurus kebutuhan pendidikan anak-anak. Nggak usah nunggu yang lain bergerak, jadilah penggerak kalau memang tujuannya baik, insyaaAllah :)

Semoga sharing pengalaman saya ini bisa bermanfaat :)

Ditulis oleh Arum Budiani, pemilik blog http://ourlearningfamily.blogspot.com dan FB page "Our Learning Family"


1 comment:

  1. Proses yang sama kami tempuh dan sudah 2 anak kami yang ikut Paket A. Tahun depan kami daftarkan Paket B.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.