Thursday, January 16, 2014

Snail Mail



16 Januari 2014
 
Hari ini, Little Bug dapat pengalaman baru dalam hal komunikasi: snail mail alias surat-menyurat biasa. Di zaman yg serba modern, not that I don’t want to embrace technology and it’s benefits, tapi saya ingin Little Bug tetap kenal dengan yang namanya snail mail. Ada perasaan yang berbeda ketika kita menerima sebuah surat yang ditujukan untuk diri kita, yang diantar oleh Pak Pos.
Ide ini sebenarnya mulai beberapa bulan lalu. Saya tiba-tiba teringat kalau waktu kecil, saya punya sahabat pena. Nggak berlanjut lama sih karena saya yang mood2an, tapi saya masih ingat kalau seru banget rasanya nerima surat dari seorang teman nun jauh di sana. Ya ya ya, mungkin banyak orang sekarang berpikir bahwa buat apa surat-menyurat, wong  sudah ada HP, e-mail, bahkan sykpe.. distance is no longer felt through technology. Tapi balik lagi, I want Little Bug to get that excitement of writing/makingsomething to be sent, sending it via the post office, and waiting for a reply to come to our house. Sekalian belajar tentang postal system dan benda-benda pos yang menyertainya, dan juga ada unsur fine motor skills (writing/drawing, folding) and learning about others, being the basics for empathy skills.

Karena faktor keamanan, saya akhirnya mencoba untuk melontarkan ide ini kepada teman-teman SMA saya, yang anak-anaknya ada yg seumuran Little Bug. Untuk permulaan saja.. kalau memang berlanjut, insyaaAllah bisa memperluas jaringan ke teman-teman di LN. Teteup intinya pakai koneksi kenalan demi keamanan anak2. Eh ternyata minggu lalu ada yang mau, jadi mulailah edisi sahabat pena di generasi anak-anak yg terlahir dalam balutan teknologi yg serba-instant!
Little Bug awalnya masih kikuk mau nulis/gambar apa, tapi lama2 dia mulai asyik mendikte ke saya untuk nulis berbagai hal dan juga bersemangat menggambar dan mendekor suratnya. Lalu ada latihan keterampilan melipat surat.. pengenalan alamat dan cara penulisannya.. dan field trip ke kantor pos untuk beli perangko dan mengeposkannya. Saya juga menjelaskan tentang apa itu perangko dan arti nilai angka-angka di perangko. Mungkin Little Bug belum sepenuhnya mengerti, but I believe he’ll assimilate this knowledge into his play somehow and gain more understanding about it as time goes by.




Lucunya, pas mau berangkat ke kantor pos, ehhh Pak Pos malah datang duluan membawa surat dari anaknya temen saya itu. Dah keburu sampai deh, karena dikirim pakai kilat khusus, hahaha... tapi Little Bug jadinya senenggg banget, baru kali ini dia mendapat surat yang khusus untuk dia. Isinya gambar ikan hiu kesukaannya... jadi makin semangat dia ke kantor posnya, hehehe!



Suatu saat nanti insyaaAllah Little Bug akan terampil menggunakan berbagai bentuk media komunikasi yang lebih canggih daripada surat-menyurat biasa. But at least he will know the very basic knowledge of letters and the post office and hopefully learn to appreciate the benefits of technology without forgetting where it all started :) 


Monday, January 13, 2014

A Priceless Lesson From A Free Competition

Little Bug loves Legos. I mean really loves Legos. Karena emak-bapaknya juga sih, sama2 demen mainan yang hitungannya layak dikategorikan sebagai “investasi jangka panjang” ini alias menguras kantong, hehehe ;p Masih ingat ketika di Jepang dulu, saya membeli Lego Duplo bekas dengan nominal yang lumayan, sampai ditanyain sama si Hubs, “Are you serious?!?!?”... dan alhamdulillah saya tetap kekeuh pada pendirian saya. I want my kids to play with Lego & Duplo, dan alhamdulillah Little Bug dan Baby Bird memang sampai sekarang nggak pernah bosan dengan mainan itu, hehehe...
 
Anyways, saya baru tahu kalau ada komunitas penggemar Lego di Indonesia dan juga baru tahu kalau mereka suka mengadakan kompetisi Lego/Duplo kalau ada pameran produk itu. Saya nggak tau sih penyelenggaranya siapa, apakah ada pengurus klub itu yg menyelenggarakan atau mereka hanya menyediakan media dan sisanya dilakukan oleh sponsor tempat pameran.. tapi saya pun excited ketika tahu bahwa ada lomba yang lokasinya nggak jauh dari rumah Eyang Uyutnya anak2. Jadi sambil berkunjung bisa mampir gitu.. Little Bug juga usianya sudah cukup untk ikut dan saya pikir akan menjadi pengalaman yang menarik untuk dia mengikuti lomba untuk pertama kalinya ttg suatu hal yg dia sukai.

Pada hari H, kami datang dengan semangat dan dengan pasukan lengkap Eyang untuk menjaga Baby Bird, supaya saya bisa mendampingi Little Bug ikut lomba. Judulnya sih Parent & Child competition, tapi peraturannya adalah orang tua hanya mendampingi dan membantu bila diperlukan, bukan membuatkan hasil kreasi anaknya. Setelah dijelaskan oleh panitia/juri, lomba pun dimulai! And OMG... para orang tua pendamping-lah yg sibuk ambil ini-itu, sibuk membangun karya yg seharusnya menjadi karya asli anaknya. Mereka tanpa malu atau sungkan sibuk sendiri membuatkan karya dari Lego Duplo, yang sebenarnya diperuntukkan untuk anak umur 3-6thn itu.  Anak-anaknya malah hanya dalam posisi membantu melengkapi karya orang tua. Ada anak yang nggak mau pakai salah satu komponen atau mau memasang yang lain, eh malah orang tuanya yg ngotot nggak boleh, karena nggak sesuai dengan rancangan orang tuanya. Hasil bangunannya canggih-canggih: apartemen tinggi, kapal laut besar, pesawat terbang yg sophisticated, keren2 deh pokoknya--- tapi yaa itu, yang buat siapa duluuuu? Hahaha... *tertawa getir*

Saya hanya terbengong-bengong dan pada saat itu berpikir positif pada juri—bahwa mereka pasti akan mengurangi nilai peserta yang menyalahi aturan itu dan pasti akan memberikan fair judgement  untuk peserta yang berkompetisi dengan jujur. Saya juga tetap memberikan dukungan pada Little Bug, dengan bilang “Ayo Ganbatte! Kamu pasti bisa!” dan sesekali membantunya mengambil parts Lego yang letaknya memang agak jauh, sesuai permintaan dia. Saya sambil ngobrol dengan seorang ayah yang di sebelah saya, yang sepertinya hanya dia yg sepaham dengan saya: bahwa ini ajang kreasi anak-anak, bukan orang tuanya! Kami malah ngobrol tentang homeschooling sambil menyemangati masing-masing anak, yg kebetulan juga umurnya hampir sama. Si ayah itu juga di awal lomba bilang ke anaknya “Ade mau buat apa, terserah ya” dan nggak turut dalam “hikuk-pikuk” orang tua lainnya. Saya pada saat itu juga memilih untuk fokus pada menyemangati Little Bug untuk berkreasi sesuai keinginannya.. supaya dia juga nggak terintimidasi dengan kreasi-kreasi lainnya yang “mentereng”. Saya berusaha keras untuk tidak memfokuskan perhatiannya pada kecurangan yang terjadi untuk menghidari Little Bug bertanya-tanya mengapa saya (sebagai Mamanya) tidak turut serta berbuat curang seperti papa-mama yang lainnya--- toh orang tua lain berbuat demikian, mengapa saya tidak?

Pada akhirnya, Little Bug berhasil membuat sebuah Rumah Sakit Bawah Laut, bangunan yang terdiri dari 2 lantai dan lantai atasnya bisa dibuka-tutup. Dia menaruh balok bergambar TV, dot bayi, dan pensil, sebagai lambang benda-benda yang terdapat di RS dengan fungsinya masing-masing. Dia juga membuat kura-kura tangki (karena tempurungnya dari bagian mobil tangki bensin), buaya, dan ubur-ubur laut. Selain itu, dia mengambil aksesoris kapal laut dan tandu untuk fungsi gawat darurat. Cerita itu keluar dari imajinasi dan kreatifitas anak 4 tahun 10 bulan, masyaaAllah! I was more than proud and happy to see him create and be brave & confident enough to participate in the competition. Anak yang cenderung introvert ini berani untuk tampil dan berkreasi berdampingan dengan anak-anak lain (dan orang tua yang begitulah). Dan yang terpenting, dia senang dan bangga dengan hasil karyanya sendiri... ada intrinsic reward dari kerja kerasnya itu. Dan itulah yang tak henti-hentinya saya puji.. bahwa Little Bug sudah jujur, berusaha keras, dan berani berkreasi, meskipun kali ini tidak menang perlombaan.

Tidak peduli bahwa akhirnya dia tidak terpilih sebagai pemenang, he is a winner in my eyes. And I’m not a sore loser. Ketika penjurian, karya Little Bug dan temannya tadi (yg sama sekali gak dibantu orang tuanya) nggak dilirik oleh juri. Para juri terlena dengan kemegahan karya-karya yang mentereng, padahal anak-anak nggak ada satupun yang diminta menceritakan kisah di balik kreasi mereka itu. Saya yakin kalau anak-anak ditanyai, pasti mereka akan sulit menjawab.. karena bukan hasil karya mereka sendiri. Ironisnya, hasil karya yang megah-megah itu bahkan tidak difoto-foto oleh orang tuanya... ya iyalahhh, ngapain foto-foto dan heboh terhadap hasil karya sendiri?? Unlike me, the overly-happy-and-proud-mommy that took lots of pictures of Little Bug’s creation.

Hasil karya yang menang adalah hasil karya orang tua yang berambisi untuk menang dengan menghalalkan segala cara. Mereka rela mencontohkan ke anak-anak mereka bahwa kemenangan adalah segalanya, meskipun hal itu dicapai dengan kecurangan. Lebih parahnya, kecurangan itu dilakukan tanpa malu-malu/sembunyi-sembunyi, padahal sudah dijelaskan dengan suara lantang oleh juri sebelum mulai pertandingan. Well, juri yang sama akhirnya terlena dengan karya yang “wah” itu, so.. percuma juga saya mempertanyakan “keputusan juri yang tidak dapat diganggu-gugat”.

Semuanya hanya demi hadiah sebuah Duplo set dari pihak sponsor. Anak-anak yang tidak dipercaya oleh orang tuanya sendiri akan kemampuan mereka untuk berkreasi sendiri. Anak-anak yang dilindungi dari kegagalan dan kekalahan. Anak-anak yang diajarkan bahwa kalau orang lain berbuat curang, kenapa kita nggak ikutan berbuat curang? Sayang sekali pada hari itu, kekuatan mainan Lego Duplo berupa kreativitas dan originalitas anak-anak, tidak mampu menang melawan kecurangan orang tua yang mengatas-namakan rasa cinta mereka untuk anak mereka. Tapi alhamdulillah, hari itu Little Bug mendapat pelajaran yang amat berharga tentang kejujuran, sportivitas, percaya diri, dan kerja keras. Mungkin dia belum menyadarinya, tapi hal-hal tersebut jauh lebih berharga daripada sebuah set Lego Duplo yang menjadi hadiah perlombaan itu. We’re prouf of you, Little Bug... yoku ganbatta, ne! Otsukaresamadeshita!